PILAR TATA KELOLA KELAUTAN
Pendahuluan
Indonesia adalah negara kepulauan yang dua
pertiga wilayahnya adalah perairan maka potensi sumber daya terbesar sudah
dipastikan berada di wilayah perairan. Berbagai pihak telah mencoba menghitung
nilai potensi kekayaan sumber daya kelautan Indonesia yang menghasilkan
angka-angka yang sangat fantastis (lihat table prediksi)
Tabel 1. Prediksi
Potensi Sumber Daya Kelautan Indonesia
Sumber |
Tahun |
NIlai |
Keterangan |
KKP |
2020 |
USD
1338 Milyar |
Perikanan tangkap (USD20 miliar), perikanan
budidaya (USD210 miliar), industri /pengolahan (USD100 miliar), industri
bioteknologi (USD180 miliar), ESDM (USD210 miliar), pariwisata (USD60 miliar),
transportasi (USD30 miliar), industry jasa maritim (USD200 miliar), coastal
forestry (USD8 miliar), sumber daya wilayah pulau kecil (USD120 miliar), dan
sumber daya non konvensional (USD200 miliar). |
LIPI |
2019 |
Rp.1772
Trilyun |
Potensi perikanan (Rp313 triliun),
terumbu karang (Rp45 triliun), mangrove (Rp21 triliun), lamun (Rp4 triliun),
potensi pesisir (Rp560 triliun), potensi bioteknologi (Rp400
triliun), potensi wisata bahari (Rp20 triliun), potensi minyak bumi (Rp210
triliun), transportasi laut (Rp200 triliun) |
Nilai yang potensial ini belum dapat diwujudkan
karena belum ada manajemen strategic
kelautan yang bersifat holistik. Kita pahami bersama bahwa ada lima pilar
kebijakan yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1.
budaya
maritim, Budaya maritim terkait persepsi,
Persepsi sangat penting karena membangun paradigma atau cara pikir dan cara
pandang. Persepsi maritim mendorong focus pada aspek kemaritiman.
2.
tata
kelola kelautan, tata kelola terkait
ketentuan dan peraturan, ketentuan dan peraturan sangat penting karena
menjadi dasar/legalitas seluruh
kegiatan atau dengan kata lain merupakan SOP.
3.
keamanan
laut, keamanan terkait jaminan aktivitas,
jaminan sangat penting sebagai bagian dari pengelolaan risiko untuk
mencegah hambatan dan mengatasi kendala atau ancaman yang berdampak buruk pada
sistem.
4.
ekonomi
kelautan, ekonomi terkait
pemberdayaannya, pemberdayaan sangat penting karena disinilah mekanisme
proses penciptaan nilai tambah yang nyata dan dapat dirasakan manfaatnya.
5.
lingkungan
laut, dan lingkungan terkait kondisi
fisiknya. Kondisi fisik sangat penting sebagai media aktivitas termasuk sebagai
sumber daya dan proses bisnisnya.
Pada dasarnya kelima pilar kebijakan ini harus
diwujudkan secara sinergi dan ini membutuhkan kerja bersama dan sistematis.
Setiap pihak di NKRI memiliki peran masing-masing dalam mewujudkan pilar-pilar
kebijakan ini. Dalam konteks skala prioritas, maka tampaknya yang menjadi aspek
utama untuk diciptakan adalah tata kelola kelautan yang baik karena secara
empiric, tata kelola ini yang menjadi penghambat sementara sebagai SOP, tata
kelola ini menentukan siapa berbuat apa dan sebagainya.
Kondisi Tata Kelola Kelautan
dan Keamanannya
Tata Kelola Kelautan pada dasarnya sudah
menunjukkan komitmen pada tataran perundangan yang cukup kuat. Ada setidaknya
27 UU terkait bidang kelautan yang mengatur aspek ekonomi dan aspek keamanan
dengan melibatkan total 15 Kementerian dan Lembaga. Seluruh peraturan
perundangan ini seharusnya mampu mengelola aspek ekonomi dan keamanan dengan
baik.
Dalam konteks keamanan, posisi Indonesia secara
geografis menciptakan dinamika peluang dan ancaman. Ada setidaknya 8 bentuk
ancaman seperti IUUF, pencemaran di laut, terorisme di laut, pelanggaran
wilayah, perompakan/pembajakan, kecelakaan di laut, penyelundupan dan invasi.
Untuk menghadapi semua ancaman ini, kehadiran simbol negara di laut mutlak
dibutuhkan sebagai wujud dari diplomasi.
Berdasarkan berbagai peraturan perundangan di
atas, saat ini terdapat setidaknya 8 Kementerian dan Lembaga yang memiliki
armada patroli dan berwenang melakukan penegakan hukum di laut (Lihat table).
Tabel 2. Daftar
Kementerian Lembaga Maritim, Kewenangan dan UU
Gambaran kondisi diatas sebenarnya menunjukkan
adanya potensi saling singgung antar kelembagaan dan bukti atau fakta empiris
menunjukkan adanya kondisi factual. Ada tiga
catatan penting dalam pelaksanaan berbagai peraturan dan perundangan ini,
yaitu:
1.
UU yang dibuat cenderung sectoral, sehingga tidak sedikit terjadi perbedaan
penafsiran kebijakan, perebutan kewenangan dan tumpang tindih dalam program
pembangunan dan pengawasan atau penegakan hukumnya,
2.
UU yang dibuat tidak membuat efek jera, hal ini tampak dari sanksi ringan dan celah
yang masih lebar bagi para pelaku kejahatan terkait,
3.
Kemauan politik (political will) pada tataran
kebijakan nasional juga relative belum kuat, hal ini dapat dilihat dari sulitnya merealisasikan
peraturan pelaksana dalam bentuk PP.
Fakta Empiris
Berikut ini disampaikan situasi factual atau data empiris yang menggambarkan kondisi tiga
catatan penting diatas yaitu kasus intersepsi kapal survey China Xiang Yang
Hong 03 di Selat Sunda dan kasus penangkapan 2 tanker Iran dan Panama di
Perairan Pontianak.
1.
Intersepsi Kapal Xiang Yang Hong 3
a.
Kronologis
Pada hari Rabu 13 Januari 2020,
pukul 09.06 Komandan KN.Pulau Nipah 321 menerima informasi dari Mabes Bakamla,
bahwa dari pantauan PUSKODAL terdeteksi Kapal survey/ Research Vessel Xiang
Yang Hong 03 berbendera China yang sedang berlayar di perairan selat sunda TW
0113.0752 WIB pada kordinat 05°57'10.836" S- 105°45'40.212"E haluan
227° kecepatan 10.9 knots, berdasarkan pantauan, kapal tersebut telah mematikan
AIS sebanyak 3 kali pada saat memasuki wilayah perairan indonesia di laut
natuna utara, laut natuna selatan dan di selat karimata.
Pada saat itu juga atas
instruksi Kepala Bakamla, Direktur Oprasi Laut Bakamla memerintahkan komandan
KN.Pulau Nipah 321 yang sedang melaksanakan SAR Sriwijaya SJ182 untuk segera
bertolak menuju selat sunda mendekati kapal tersebut. Pukul 09.30 KN.Pulau
Nipah 321 bertolak menuju ke selat sunda untuk melaksanakan intersep.
Pukul 20.00 kapal xiang yang
hong 03 terdeteksi berjarak 10 Nm dari KN.Pulau Nipah 321 dan KN.Pulau Nipah
321 berhasil melakukan kontak komunikasi menggunakan radio VHF di Chanel 16
dengan kapal xiang yang haong 03. Hasil kontak sebagai berikut:
•
Kapal
Xiang Yang Hong 03 bertolak dari china menuju laut india bagian selatan
melewati perairan indonesia tanpa melakukan aktifitas lainnya.
•
Kapal
Xiang Yang Hong 03 menjawab bahwa tidak menyalakan AIS pada saat memasuki
wilayah perairan indonesia sebanyak 3 kali dikarenakan adanya kerusakan pada
AIS.
•
Untuk
saat ini pengambilan dokumentasi secara visual kapal Xiang Yang Hong 03 tidak
memungkinkan dikarenakan cuaca buruk, dan pengambilan dokumentasi dari Radar
dan rekaman pernyataan dari rekaman.
•
Setelah
mendapat informasi tersebut KN.Pulau Nipah 321 tetap membayang-bayangi kapal
Xiang Yang Hong 03 dan pukul 20.45 KN.Pulau Nipah 321 berputar arah ke haluan
090° kecepatan 15.8 knot.
•
Tanggal
14 januari pukul 08.00 KN.Pulau Nipah 321 Tiba di perairan Pulau Lancang untuk
melanjutkan SAR Pesawat Sriwijaya 182.
b.
Analisis.
Kapal Xiang Yang Hong 03
diduga melakukan pelanggaran Permenhub No.7 Tahun 2019 pasal 10 tentang
kewajiban menghidupkan AIS. Pelanggaran ketentuan ini hanya dikenakan sanksi
administrasi sebagaimana tercantum dalam Tokyo MoU berupa pencabutan dokumen
tertentu secara temporer. Klarifikasi Dubes China saat dipanggil Kemenlu,
menyatakan bahwa kapal Xiang Yang Hong 03 tidak mematikan AIS, dapat
dibantahkan oleh rekaman komunikasi KN Pulau Nipah-321 dengan kapal Xiang Yang
Hong 03.
Indonesia sebagai negara yang
memiliki kedaulatan penuh dan berkewajiban menjamin hak lintas di perairan dan
yurisdiksi Indonesia pada akhirnya tidak memiliki kekuatan hukum yang cukup
kuat untuk memaksakan kapal-kapal yang melintas untuk menghidupkan AIS.
Contoh
kecelakaan di laut yang terjadi di selat Sunda akibat salah
satunya AIS kapal dimatikan adalah kapal berbendera Kamboja MV Qihang yang
menabrak KMP Marisa Nusantara pada tanggal 3 Mei 2014 pk 02.30, akibat kejadian
tersebut lambung kanan KMP Marisa rusak parah pada lambung kanannya dan 24 unit
kendaraan didalamnya rusak, MV Qihang setelah menabrak KMP Marisa Nusantara
kemudian melarikan diri.
Stasiun Radio
Pantai (SROP) tidak dapat mendeteksi kehadiran MV Qihang yang melintas sehingga tidak
memberikan peringatan terkait lalu lintas penyeberangan di Selat Sunda. Hasil analisa Puskodal Bakorkamla atas History track
kapal MV Qihang sebagai berikut; Sebelum masuk Selat Sunda pada Pk 00.21 AIS
off, Tabrakan terjadi pk 02.30 ( Informasi dari Nakhoda KMP Marisa Nusantara ),
kemudian AIS MV Qihang dihidupkan Kembali pk 13.16.
Dengan
demikian maka tindakan kapal Xiang Yang Hong 03 yang mematikan AIS selama Linla
ALKI merupakan suatu tindakan yang sangat berbahaya dan mengancam
Keselamatan Pelayaran.
Bila
ada kapal asing yg tidak menyalakan AIS yang berwenang untuk menindak sesuai
Tokyo MOU hanyalah PSC (Port State Control), di Indonesia yang menjadi PSC
adalah KPLP, sehingga yang kemudian berwenang mengambil tindakan administratif
bila terjadi pelanggaran Permen Perhubungan no 7 tahun 2019 , khususnya pasal
10 untuk kapal asing mematikan AIS hanya KPLP.
Namun
hasil analisa track history MV Xiang Yang Hong 03 bahwa kapal tersebut tidak
pernah singgah di salah satu Port/ Pelabuhan di Indonesia. Sehingga sangat
wajar bila ada kapal dari institusi yang mempunyai kewenangan di Laut selain
KPLP yang ikut bertindak untuk mengingatkan kapal Asing yang tidak mematuhi
peraturan yang berlaku di Indonesia, karena faktanya memang telah membahayakan
keselamatan pelayaran.
2.
Penangkapan 2 super tanker Iran dan Panama
a.
Kronologis
Pada hari Minggu, 24 Januari 2021, pukul 05.00
WIB KN MRE-322 mendapati kontak radar diam dan tidak menyalakan AIS pada
baringan 290 jarak 17 Nm, selanjutnya dilaksanakan halu pendekatan thd kontak.
Pukul 06.00 WIB KN MRE-322 pada jarak 1 Nm dari
kontak, mengidentifikasi secara visual kontak radar tersebut merupakan 2 buah super
tanker yg sedang melaksanakan STS Transhipment, dengan identitas kedua kapal
ditutup menggunakan kain sehingga tidak terlihat.
KN MRE-322 melaksanakan komunikasi terhadap
kedua kapal tersebut via radio chanel 16, tidak ada respon dan jawaban. KN
MRE-322 mengelilingi kedua kapal sebanyak 5 kali dan terus mencoba untuk
melaksanakan komunikasi. Namun karena pada pukul 08.00 WIB diketahui secara
visual MT. Horse melaksanakan angkat jangkar. KN MRE-322 melaksanakan peran
sekoci untuk menurunkan rhib dan Tim VBSS bergerak menuju kapal target.
KN MRE-322 broadcast warning kepada kedua kapal
bahwa telah melanggar peraturan Internasional hak lintas transit ALKI I dan
peraturan nasional Indonesia ttg kegiatan STS transhipment tanpa ijin dan di
luar area yg diatur menurut undang-undang Indonesia. Tim VBSS mengelilingi
kedua kapal untuk melihat situasi dan kondisi dan mendapatkan kondisi selang terpasang
serta juga menemukan bahwa MT Freya melaksanakan dumping atau pembuangan crude
oil melalui saluran pembuangan lambung kanan MT Freya.
Pukul 10.30 WIB komunikasi dengan MT Horse dapat
terjalin dan KN MRE-322 dapat tender lambung kiri MT Horse pada pukul 11.45
yang dilanjutkan dengan pemeriksaan dan penggeledahan MT. Horse dan dilanjutkan
dengan MT. Freya sampai dengan pukul 16.00, selanjutnya tim kawal onboard di
kedua kapal dan seluruh dokumen kapal serta 4 crew dari masing-masing MT
ditahan di KN MRE-322.
Senin tanggal 25 Januari 2021 pukul 12.00,
kedua kapal unmooring dan bergerak menuju Batam dengan di kawal KN MRE-322 dan
KN Belut Laut. Tiba di Batam pada hari Rabu dinihari pukul 03.30 Wib.
b.
Analisis Hukum.
MT Horse dan MT Freya diduga
melakukan pelanggaran sebagaimana dalam table sebagai berikut:
Table 3. Pelanggaran,
UU dan Sanksi 2 Super Tanker
No |
Dugaan
Pelanggaran |
Peraturan
Yang Dilanggar |
Sanksi |
1. |
Melanggar Hak Lintas
Damai: •
Nahkoda tidak mematuhi
ketentuan yang berkaitan dengan alur pelayaran •
Mematikan AIS •
Lego Jangkar •
Tidak mengibarkan bendera
kebangsaan dan menutup nama lambung kapal |
• Pasal 19 huruf g UNCLOS 1982 • Pasal 12 (2) UU No.6/1996 tentang perairan
Indonesia • Pasal 317 jo pasal 193 (1b) dan pasal 166 (1) UU
No.17/2008 • Pasal 5 PP No.36/2002 ttg Hak dan Kewajiban kapal
asing dalam melaksanakan lintas damai di perairan Indonesia • Pasal 10 jo Pasal 3 Permenhub 58/2019 (mematikan
AIS) |
• Pasal 317 UU No. 17/2008 Pelayaran, Nakhoda
diancam pidana paling lama 1 tahun dan denda paling banyak 200 juta; • Lego jangkar, mematikan AIS, tidak mengibarkan
bendera dan menutup nama lambung kapal diancam sanksi administratif. |
2. |
Ship to Ship tanpa ijin: •
Alih muat BBM •
Bongkar muat tanpa ijin |
•
Pasal 53 (b) UU No.22/2001
tentang Migas •
Pasal 208 UU No.17/2008
dan pasal 30 PP No.61/2009 tentang kepelabuhanan •
Catatan: perlu penyidikan
lebih lanjut |
• Pidana
paling lama 4 tahun dan denda paling banyak 40 milyar • Sanksi
administratif, pidana dikaitkan dengan pasal 317 |
3. |
Pencemaran lingkungan laut: •
Membuang minyak di laut •
Tumpahan limbah pada saat
kegiatan ship to ship |
•
Pasal 99 (1) UU No.32/2009
tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. •
Catatan: perlu penyidikan
lebih lanjut, hasil lab, dan analisis dampak. |
• Penjara
paling singkat 1 tahun paling lama 3 tahun dengan denda paling sedikit 1
milyar dan paling banyak 3 milyar |
Bakamla
setelah penangkapan kapal tersebut, menyusun rencana tindak lanjut berupa rapat
koordinasi dengan kementerian dan Lembaga yang memiliki kewenangan penyidikan
seperti TNI AL, Polri, Kemenhub, KLH, ESDM dan Kemenkumham sejak tanggal 25-29
Januari 2021.
Dari
hasil rapat koordinasi dan gelar perkara awal tanggal 29 Januari 2021, mayoritas
kementerian dan Lembaga yang memiliki kewenangan penyidikan, menyarankan
bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh hanya administratif dan sulit untuk
dijatuhkan sanksi pidana.
Pandangan
para pejabat dalam rapat koordinasi ini tentu sangat bertolak belakang
dengan kondisi dan risiko baik potensial dan factual yang terjadi. Ketidakmampuan
penyidik dalam menentukan dan menyimpulkan pelanggaran yang dilakukan oleh
kedua kapal super tanker tersebut menggambarkan celah dan kelemahan yang
terdapat dalam peraturan dan perundangan yang ada.
Pada
sisi lain, apabila pelanggaran yang diberikan kepada kapal tersebut sedemikian
ringan (pelanggaran administrative) maka akan membentuk preseden buruk
terhadap penggunaan wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi oleh negara asing
tanpa ada daya tangkal dalam melakukan kegiatan yang melanggar UU.
Kegiatan
ship to ship di wilayah perairan Indonesia memiliki risiko yang tinggi terhadap
dumping atau tumpahan minyak, keamanan lingkungan dan
masyarakat pantai serta keselamatan pelayaran dan gangguan terhadap kapal yang
melaksanakan kegiatan ship to ship tersebut. Itu sebabnya sebagai negara
pantai, Indonesia menyediakan area untuk ship to ship di wilayah tertentu,
dengan tentu saja mengenakan bea sebagai bentuk dari kompensasi terhadap risiko
yang terjadi dari kegiatan tersebut.
Bakamla
sebagai penangkap mengalami kesulitan dalam proses lebih lanjut karena ketiadaan kewenangan penyidikan
sehingga Bakamla harus menyerahkan proses lanjutan ke penyidik. Hal ini menjadi
semakin sulit apabila penyidik lanjutan juga mengalami kesulitan atau kurang
memiliki keinginan untuk menyelesaikan permasalahan yang diajukan tersebut.
Bakamla
sebagai Lembaga yang dibentuk berdasarkan UU No.32 Tahun 2014 memiliki tugas
patrol keamanan dan keselamatan di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi
Indonesia, memiliki kewenangan yang masih sangat terbatas yaitu hanya sampai
pada kegiatan penghentian, pemeriksaan dan penangkapan serta penyerahan
kepenyidik lanjutan.
Ketiadaan
kewenangan penyidikan menunjukkan kelemahan dari UU 32 tahun 2014
itu sendiri dimana dengan bukti factual dan empiris ini menunjukkan kendala dan
hambatan serta kelemahan dalam penegakan hukum di perairan Indonesia yang
berdampak pada preseden buruk dan opini perairan Indonesia yang berpotensi
tidak aman bagi pelayaran.
Konsep Tata Kelola Keamanan di
Laut
Tata Kelola yang baik didefinisikan
sebagai “The way statement is used in managing and social resources for
development of society.” Atau dapat diartikan bahwa good governance
lebih menekankan pada cara pemerintah mengelola sumber daya sosial dan ekonomi
untuk kepentingan pembangunan masyarakat (Renyowijoyo Muindro, 2010). United
Nation Development Program (UNDP) mendefinisikan good governance sebagai “the
exercise of political, economic and
administrative authority to manage a nation’s affair at all levels” artinya
pelaksanaan atau penerapan kewenangan politik, ekonomi dan administrative dalam
mengelola urusan kenegaraan pada semua level”
Pengertian di atas secara eksplisit menunjukkan bahwa ada pembagian kewenangan
yang tegas tetapi saling bersinergi. Ini sangat penting untuk menjamin focus
dari pelaksanaan tugasnya agar sesuai fungsinya dan bersinergi dengan tugas dan
fungsi lain kelembagaan yang terkait. Sinergi ini berarti system dan mekanisme
kerja yang ada di satu Lembaga, harus dipahami dan menjadi bagian dari system
dan mekanisme kerja di Lembaga lain atau dengan kata lain, system di satu
Lembaga menjadi input bagi system di Lembaga lainnya
Keamanan dan keselamatan di ALKI merupakan kewajiban
bagi negara pantai untuk menjamin kondisi yang kondusif di wilayah tersebut.
Konsep tata kelola yang baik adalah adanya saling ketergantungan (interdependence) dan interaksi dari
bermacam aktor kelembagaan yang memiliki peran terpisah tetapi tidak memiliki kontrol
yang absolut. Dalam konteks keamanan di laut, maka pembagian peran dapat
dilihat dari interaksi antar elemen yang ada di dalamnya.
Bila melihat kerangka kerja keamanan maritim
dibangun oleh konstruksi keamanan nasional, manusia, lingkungan dan kegiatan
ekonomi maka kegiatan sebagai system dalam kerangka kerja keamanan maritim di
atas akan meliputi subyek yang memanfaatkan lingkungan maritim dengan semua
aspek didalamnya, subyek yang membuat kebijakan dan regulasi pemanfaatan
lingkungan maritim, dan subyek yang megawasi dan melakukan penegakan hukum atas
aktivitas di lingkungan maritim.
Pendekatan ini didasarkan pada konsep pembagian
kekuasaan Montesque yang dikenal dengan “trias politica” bahwa
kekuasaan-kekuasaan sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Ini artinya
bahwa dalam setiap kehidupan bernegara perlu untuk dilakukan pemisahan
kekuasaan yang sederajat dan saling mengendalikan atau mengimbangi satu sama
lain (check and balance). Pembagian kekuasaan juga akan mencegah terjadinya
kesewenangan.
Identik dengan konsep trias politica yaitu
eksekutif, yudikatif dan legislative, maka subyek-subyek dalam keamanan
maritim dapat dikelompokkan menjadi pembuat kebijakan dan peraturan (fungsi
legislative), pelaku ekonomi sebagai pemanfaatan dan pelaksanaan kebijakan dan
peraturan (fungsi eksekutif) dan penegak hukum (fungsi yudikatif).
Pembuat kebijakan dan peraturan adalah kementerian lembaga pemangku
kepentingan yang memiliki tugas dan tanggung jawab secara luas menyusun,
merumuskan, menetapkan, mensikronisasi dan mengoordinasikan pelaksanana
kebijakan sesuai bidang tugasnya.
Pengguna atau pemanfaat kebijakan dan peraturan adalah penggiat dan pelaku ekonomi yang membutuhkan
kepastian hukum terkait dengan proses bisnis dalam rangka transformasi nilai
atau menciptakan nilai tambah dalam lingkungan maritim yang memiliki dampak
luas terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Penegakan kebijakan dan peraturan adalah lembaga yang melaksanakan penindakan
dalam rangka menjalankan fungsi membantu pembuat kebijakan dalam pembinaan, pengawasan
pelaksanaan dari kebijakan dan peraturan yang dibuat termasuk penindakan
pelanggaran terhadap kebijakan dan peraturan yang dibuat.
Implikasi dari pembagian ini adalah mereduksi kapasitas penegakan hukum
yang dimiliki oleh kementerian dan lembaga, dan meleburkannya kedalam lembaga
penegak hukum sehingga kementerian dan lembaga dapat focus untuk menggunakan
anggarannya untuk menciptakan program-program peningkatan kinerja dari
bidangnya.
Dampak dari pembagian ini adalah efektivitas dan efisiensi anggaran
baik kementerian lembaga pembuat kebijakan dan lembaga penegak hukum serta
tentu saja pelaku ekonomi yang juga mendapat manfaat tambahan sebagai kepastian
hukum.
Secara sederhana dapat diberikan analogi bahwa
sebuah lembaga tentu memiliki tugas, peran dan tanggung jawab yang harus
dilaksanakan dengan menggunakan semua sumber daya yang dimiliki termasuk
anggaran. Dengan pembagian kewenangan ini maka setiap kementerian dan lembaga
akan dapat melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien pada tupoksi yang
dimiliki sehingga tidak terjadi overlapping peran yang justru akan
menimbulkan tumpang tindih dan ketidakpastian hukum.
Komentar
Posting Komentar