PILAR TATA KELOLA KELAUTAN


Pendahuluan

Indonesia adalah negara kepulauan yang dua pertiga wilayahnya adalah perairan maka potensi sumber daya terbesar sudah dipastikan berada di wilayah perairan. Berbagai pihak telah mencoba menghitung nilai potensi kekayaan sumber daya kelautan Indonesia yang menghasilkan angka-angka yang sangat fantastis (lihat table prediksi)

Tabel 1. Prediksi Potensi Sumber Daya Kelautan Indonesia

Sumber

Tahun

NIlai

Keterangan

KKP

2020

USD 1338 Milyar

Perikanan tangkap (USD20 miliar), perikanan budidaya (USD210 miliar), industri /pengolahan (USD100 miliar), industri bioteknologi (USD180 miliar), ESDM (USD210 miliar), pariwisata (USD60 miliar), transportasi (USD30 miliar), industry jasa maritim (USD200 miliar), coastal forestry (USD8 miliar), sumber daya wilayah pulau kecil (USD120 miliar), dan sumber daya non konvensional (USD200 miliar).

LIPI

2019

Rp.1772 Trilyun

Potensi perikanan (Rp313 triliun), terumbu karang (Rp45 triliun), mangrove (Rp21 triliun), lamun (Rp4 triliun), potensi pesisir (Rp560 triliun), potensi bioteknologi (Rp400 triliun), potensi wisata bahari (Rp20 triliun), potensi minyak bumi (Rp210 triliun), transportasi laut (Rp200 triliun)

 

Nilai yang potensial ini belum dapat diwujudkan karena belum ada manajemen strategic kelautan yang bersifat holistik. Kita pahami bersama bahwa ada lima pilar kebijakan yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1.            budaya maritim, Budaya maritim terkait persepsi, Persepsi sangat penting karena membangun paradigma atau cara pikir dan cara pandang. Persepsi maritim mendorong focus pada aspek kemaritiman.

2.            tata kelola kelautan, tata kelola terkait ketentuan dan peraturan, ketentuan dan peraturan sangat penting karena menjadi dasar/legalitas seluruh kegiatan atau dengan kata lain merupakan SOP.

3.            keamanan laut, keamanan terkait jaminan aktivitas, jaminan sangat penting sebagai bagian dari pengelolaan risiko untuk mencegah hambatan dan mengatasi kendala atau ancaman yang berdampak buruk pada sistem.

4.            ekonomi kelautan, ekonomi terkait pemberdayaannya, pemberdayaan sangat penting karena disinilah mekanisme proses penciptaan nilai tambah yang nyata dan dapat dirasakan manfaatnya.

5.            lingkungan laut, dan lingkungan terkait kondisi fisiknya. Kondisi fisik sangat penting sebagai media aktivitas termasuk sebagai sumber daya dan proses bisnisnya.

Pada dasarnya kelima pilar kebijakan ini harus diwujudkan secara sinergi dan ini membutuhkan kerja bersama dan sistematis. Setiap pihak di NKRI memiliki peran masing-masing dalam mewujudkan pilar-pilar kebijakan ini. Dalam konteks skala prioritas, maka tampaknya yang menjadi aspek utama untuk diciptakan adalah tata kelola kelautan yang baik karena secara empiric, tata kelola ini yang menjadi penghambat sementara sebagai SOP, tata kelola ini menentukan siapa berbuat apa dan sebagainya.

 

Kondisi Tata Kelola Kelautan dan Keamanannya

Tata Kelola Kelautan pada dasarnya sudah menunjukkan komitmen pada tataran perundangan yang cukup kuat. Ada setidaknya 27 UU terkait bidang kelautan yang mengatur aspek ekonomi dan aspek keamanan dengan melibatkan total 15 Kementerian dan Lembaga. Seluruh peraturan perundangan ini seharusnya mampu mengelola aspek ekonomi dan keamanan dengan baik.

Dalam konteks keamanan, posisi Indonesia secara geografis menciptakan dinamika peluang dan ancaman. Ada setidaknya 8 bentuk ancaman seperti IUUF, pencemaran di laut, terorisme di laut, pelanggaran wilayah, perompakan/pembajakan, kecelakaan di laut, penyelundupan dan invasi. Untuk menghadapi semua ancaman ini, kehadiran simbol negara di laut mutlak dibutuhkan sebagai wujud dari diplomasi.

Berdasarkan berbagai peraturan perundangan di atas, saat ini terdapat setidaknya 8 Kementerian dan Lembaga yang memiliki armada patroli dan berwenang melakukan penegakan hukum di laut (Lihat table).

Tabel 2. Daftar Kementerian Lembaga Maritim, Kewenangan dan UU



Gambaran kondisi diatas sebenarnya menunjukkan adanya potensi saling singgung antar kelembagaan dan bukti atau fakta empiris menunjukkan adanya kondisi factual. Ada tiga catatan penting dalam pelaksanaan berbagai peraturan dan perundangan ini, yaitu:

1.            UU yang dibuat cenderung sectoral, sehingga tidak sedikit terjadi perbedaan penafsiran kebijakan, perebutan kewenangan dan tumpang tindih dalam program pembangunan dan pengawasan atau penegakan hukumnya,

2.            UU yang dibuat tidak membuat efek jera, hal ini tampak dari sanksi ringan dan celah yang masih lebar bagi para pelaku kejahatan terkait,

3.            Kemauan politik (political will) pada tataran kebijakan nasional juga relative belum kuat, hal ini dapat dilihat dari sulitnya merealisasikan peraturan pelaksana dalam bentuk PP.

 

Fakta Empiris

Berikut ini disampaikan situasi factual atau data empiris yang menggambarkan kondisi tiga catatan penting diatas yaitu kasus intersepsi kapal survey China Xiang Yang Hong 03 di Selat Sunda dan kasus penangkapan 2 tanker Iran dan Panama di Perairan Pontianak.

1.            Intersepsi Kapal Xiang Yang Hong 3

a.            Kronologis

Pada hari Rabu 13 Januari 2020, pukul 09.06 Komandan KN.Pulau Nipah 321 menerima informasi dari Mabes Bakamla, bahwa dari pantauan PUSKODAL terdeteksi Kapal survey/ Research Vessel Xiang Yang Hong 03 berbendera China yang sedang berlayar di perairan selat sunda TW 0113.0752 WIB pada kordinat 05°57'10.836" S- 105°45'40.212"E haluan 227° kecepatan 10.9 knots, berdasarkan pantauan, kapal tersebut telah mematikan AIS sebanyak 3 kali pada saat memasuki wilayah perairan indonesia di laut natuna utara, laut natuna selatan dan di selat karimata.

Pada saat itu juga atas instruksi Kepala Bakamla, Direktur Oprasi Laut Bakamla memerintahkan komandan KN.Pulau Nipah 321 yang sedang melaksanakan SAR Sriwijaya SJ182 untuk segera bertolak menuju selat sunda mendekati kapal tersebut. Pukul 09.30 KN.Pulau Nipah 321 bertolak menuju ke selat sunda untuk melaksanakan intersep.

Pukul 20.00 kapal xiang yang hong 03 terdeteksi berjarak 10 Nm dari KN.Pulau Nipah 321 dan KN.Pulau Nipah 321 berhasil melakukan kontak komunikasi menggunakan radio VHF di Chanel 16 dengan kapal xiang yang haong 03. Hasil kontak sebagai berikut:

               Kapal Xiang Yang Hong 03 bertolak dari china menuju laut india bagian selatan melewati perairan indonesia tanpa melakukan aktifitas lainnya.

               Kapal Xiang Yang Hong 03 menjawab bahwa tidak menyalakan AIS pada saat memasuki wilayah perairan indonesia sebanyak 3 kali dikarenakan adanya kerusakan pada AIS.

               Untuk saat ini pengambilan dokumentasi secara visual kapal Xiang Yang Hong 03 tidak memungkinkan dikarenakan cuaca buruk, dan pengambilan dokumentasi dari Radar dan rekaman pernyataan dari rekaman.

               Setelah mendapat informasi tersebut KN.Pulau Nipah 321 tetap membayang-bayangi kapal Xiang Yang Hong 03 dan pukul 20.45 KN.Pulau Nipah 321 berputar arah ke haluan 090° kecepatan 15.8 knot.

               Tanggal 14 januari pukul 08.00 KN.Pulau Nipah 321 Tiba di perairan Pulau Lancang untuk melanjutkan SAR Pesawat Sriwijaya 182.

 

b.            Analisis.

Kapal Xiang Yang Hong 03 diduga melakukan pelanggaran Permenhub No.7 Tahun 2019 pasal 10 tentang kewajiban menghidupkan AIS. Pelanggaran ketentuan ini hanya dikenakan sanksi administrasi sebagaimana tercantum dalam Tokyo MoU berupa pencabutan dokumen tertentu secara temporer. Klarifikasi Dubes China saat dipanggil Kemenlu, menyatakan bahwa kapal Xiang Yang Hong 03 tidak mematikan AIS, dapat dibantahkan oleh rekaman komunikasi KN Pulau Nipah-321 dengan kapal Xiang Yang Hong 03.

Indonesia sebagai negara yang memiliki kedaulatan penuh dan berkewajiban menjamin hak lintas di perairan dan yurisdiksi Indonesia pada akhirnya tidak memiliki kekuatan hukum yang cukup kuat untuk memaksakan kapal-kapal yang melintas untuk menghidupkan AIS.

Contoh kecelakaan di laut yang terjadi di selat Sunda akibat salah satunya AIS kapal dimatikan adalah kapal berbendera Kamboja MV Qihang yang menabrak KMP Marisa Nusantara pada tanggal 3 Mei 2014 pk 02.30, akibat kejadian tersebut lambung kanan KMP Marisa rusak parah pada lambung kanannya dan 24 unit kendaraan didalamnya rusak, MV Qihang setelah menabrak KMP Marisa Nusantara kemudian melarikan diri.

Stasiun Radio Pantai (SROP) tidak dapat mendeteksi kehadiran MV Qihang yang melintas sehingga tidak memberikan peringatan terkait lalu lintas penyeberangan di Selat Sunda. Hasil analisa Puskodal Bakorkamla atas History track kapal MV Qihang sebagai berikut; Sebelum masuk Selat Sunda pada Pk 00.21 AIS off, Tabrakan terjadi pk 02.30 ( Informasi dari Nakhoda KMP Marisa Nusantara ), kemudian AIS MV Qihang dihidupkan Kembali pk 13.16.

Dengan demikian maka tindakan kapal Xiang Yang Hong 03 yang mematikan AIS selama Linla ALKI merupakan suatu tindakan yang sangat berbahaya dan mengancam Keselamatan Pelayaran.

Bila ada kapal asing yg tidak menyalakan AIS yang berwenang untuk menindak sesuai Tokyo MOU hanyalah PSC (Port State Control), di Indonesia yang menjadi PSC adalah KPLP, sehingga yang kemudian berwenang mengambil tindakan administratif bila terjadi pelanggaran Permen Perhubungan no 7 tahun 2019 , khususnya pasal 10 untuk kapal asing mematikan AIS hanya KPLP.

Namun hasil analisa track history MV Xiang Yang Hong 03 bahwa kapal tersebut tidak pernah singgah di salah satu Port/ Pelabuhan di Indonesia. Sehingga sangat wajar bila ada kapal dari institusi yang mempunyai kewenangan di Laut selain KPLP yang ikut bertindak untuk mengingatkan kapal Asing yang tidak mematuhi peraturan yang berlaku di Indonesia, karena faktanya memang telah membahayakan keselamatan pelayaran.

 

2.            Penangkapan 2 super tanker Iran dan Panama

a.            Kronologis

Pada hari Minggu, 24 Januari 2021, pukul 05.00 WIB KN MRE-322 mendapati kontak radar diam dan tidak menyalakan AIS pada baringan 290 jarak 17 Nm, selanjutnya dilaksanakan halu pendekatan thd kontak.

Pukul 06.00 WIB KN MRE-322 pada jarak 1 Nm dari kontak, mengidentifikasi secara visual kontak radar tersebut merupakan 2 buah super tanker yg sedang melaksanakan STS Transhipment, dengan identitas kedua kapal ditutup menggunakan kain sehingga tidak terlihat.

KN MRE-322 melaksanakan komunikasi terhadap kedua kapal tersebut via radio chanel 16, tidak ada respon dan jawaban. KN MRE-322 mengelilingi kedua kapal sebanyak 5 kali dan terus mencoba untuk melaksanakan komunikasi. Namun karena pada pukul 08.00 WIB diketahui secara visual MT. Horse melaksanakan angkat jangkar. KN MRE-322 melaksanakan peran sekoci untuk menurunkan rhib dan Tim VBSS bergerak menuju kapal target.

KN MRE-322 broadcast warning kepada kedua kapal bahwa telah melanggar peraturan Internasional hak lintas transit ALKI I dan peraturan nasional Indonesia ttg kegiatan STS transhipment tanpa ijin dan di luar area yg diatur menurut undang-undang Indonesia. Tim VBSS mengelilingi kedua kapal untuk melihat situasi dan kondisi dan mendapatkan kondisi selang terpasang serta juga menemukan bahwa MT Freya melaksanakan dumping atau pembuangan crude oil melalui saluran pembuangan lambung kanan MT Freya.

Pukul 10.30 WIB komunikasi dengan MT Horse dapat terjalin dan KN MRE-322 dapat tender lambung kiri MT Horse pada pukul 11.45 yang dilanjutkan dengan pemeriksaan dan penggeledahan MT. Horse dan dilanjutkan dengan MT. Freya sampai dengan pukul 16.00, selanjutnya tim kawal onboard di kedua kapal dan seluruh dokumen kapal serta 4 crew dari masing-masing MT ditahan di KN MRE-322.

Senin tanggal 25 Januari 2021 pukul 12.00, kedua kapal unmooring dan bergerak menuju Batam dengan di kawal KN MRE-322 dan KN Belut Laut. Tiba di Batam pada hari Rabu dinihari pukul 03.30 Wib.

 

b.            Analisis Hukum.

MT Horse dan MT Freya diduga melakukan pelanggaran sebagaimana dalam table sebagai berikut:

Table 3. Pelanggaran, UU dan Sanksi 2 Super Tanker

No

Dugaan Pelanggaran

Peraturan Yang Dilanggar

Sanksi

1.

Melanggar Hak Lintas Damai:

     Nahkoda tidak mematuhi ketentuan yang berkaitan dengan alur pelayaran

     Mematikan AIS

     Lego Jangkar

     Tidak mengibarkan bendera kebangsaan dan menutup nama lambung kapal

     Pasal 19 huruf g UNCLOS 1982

     Pasal 12 (2) UU No.6/1996 tentang perairan Indonesia

     Pasal 317 jo pasal 193 (1b) dan pasal 166 (1) UU No.17/2008

     Pasal 5 PP No.36/2002 ttg Hak dan Kewajiban kapal asing dalam melaksanakan lintas damai di perairan Indonesia

     Pasal 10 jo Pasal 3 Permenhub 58/2019 (mematikan AIS)

    Pasal 317 UU No. 17/2008 Pelayaran, Nakhoda diancam pidana paling lama 1 tahun dan denda paling banyak 200 juta;

    Lego jangkar, mematikan AIS, tidak mengibarkan bendera dan menutup nama lambung kapal diancam sanksi administratif.

2.

Ship to Ship tanpa ijin:

     Alih muat BBM

     Bongkar muat tanpa ijin

 

     Pasal 53 (b) UU No.22/2001 tentang Migas

     Pasal 208 UU No.17/2008 dan pasal 30 PP No.61/2009 tentang kepelabuhanan

     Catatan: perlu penyidikan lebih lanjut

    Pidana paling lama 4 tahun dan denda paling banyak 40 milyar

    Sanksi administratif, pidana dikaitkan dengan pasal 317

3.

Pencemaran lingkungan laut:

     Membuang minyak di laut

     Tumpahan limbah pada saat kegiatan ship to ship

     Pasal 99 (1) UU No.32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

     Catatan: perlu penyidikan lebih lanjut, hasil lab, dan analisis dampak.

 

    Penjara paling singkat 1 tahun paling lama 3 tahun dengan denda paling sedikit 1 milyar dan paling banyak 3 milyar

 

Bakamla setelah penangkapan kapal tersebut, menyusun rencana tindak lanjut berupa rapat koordinasi dengan kementerian dan Lembaga yang memiliki kewenangan penyidikan seperti TNI AL, Polri, Kemenhub, KLH, ESDM dan Kemenkumham sejak tanggal 25-29 Januari 2021.

Dari hasil rapat koordinasi dan gelar perkara awal tanggal 29 Januari 2021, mayoritas kementerian dan Lembaga yang memiliki kewenangan penyidikan, menyarankan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh hanya administratif dan sulit untuk dijatuhkan sanksi pidana.

Pandangan para pejabat dalam rapat koordinasi ini tentu sangat bertolak belakang dengan kondisi dan risiko baik potensial dan factual yang terjadi. Ketidakmampuan penyidik dalam menentukan dan menyimpulkan pelanggaran yang dilakukan oleh kedua kapal super tanker tersebut menggambarkan celah dan kelemahan yang terdapat dalam peraturan dan perundangan yang ada.

Pada sisi lain, apabila pelanggaran yang diberikan kepada kapal tersebut sedemikian ringan (pelanggaran administrative) maka akan membentuk preseden buruk terhadap penggunaan wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi oleh negara asing tanpa ada daya tangkal dalam melakukan kegiatan yang melanggar UU.

Kegiatan ship to ship di wilayah perairan Indonesia memiliki risiko yang tinggi terhadap dumping atau tumpahan minyak, keamanan lingkungan dan masyarakat pantai serta keselamatan pelayaran dan gangguan terhadap kapal yang melaksanakan kegiatan ship to ship tersebut. Itu sebabnya sebagai negara pantai, Indonesia menyediakan area untuk ship to ship di wilayah tertentu, dengan tentu saja mengenakan bea sebagai bentuk dari kompensasi terhadap risiko yang terjadi dari kegiatan tersebut.

Bakamla sebagai penangkap mengalami kesulitan dalam proses lebih  lanjut karena ketiadaan kewenangan penyidikan sehingga Bakamla harus menyerahkan proses lanjutan ke penyidik. Hal ini menjadi semakin sulit apabila penyidik lanjutan juga mengalami kesulitan atau kurang memiliki keinginan untuk menyelesaikan permasalahan yang diajukan tersebut.

Bakamla sebagai Lembaga yang dibentuk berdasarkan UU No.32 Tahun 2014 memiliki tugas patrol keamanan dan keselamatan di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi Indonesia, memiliki kewenangan yang masih sangat terbatas yaitu hanya sampai pada kegiatan penghentian, pemeriksaan dan penangkapan serta penyerahan kepenyidik lanjutan.

Ketiadaan kewenangan penyidikan menunjukkan kelemahan dari UU 32 tahun 2014 itu sendiri dimana dengan bukti factual dan empiris ini menunjukkan kendala dan hambatan serta kelemahan dalam penegakan hukum di perairan Indonesia yang berdampak pada preseden buruk dan opini perairan Indonesia yang berpotensi tidak aman bagi pelayaran.

 

Konsep Tata Kelola Keamanan di Laut

Tata Kelola yang baik didefinisikan sebagai “The way statement is used in managing and social resources for development of society.” Atau dapat diartikan bahwa good governance lebih menekankan pada cara pemerintah mengelola sumber daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan pembangunan masyarakat (Renyowijoyo Muindro, 2010). United Nation Development Program (UNDP) mendefinisikan good governance sebagai “the exercise of  political, economic and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels” artinya pelaksanaan atau penerapan kewenangan politik, ekonomi dan administrative dalam mengelola urusan kenegaraan pada semua level”

Pengertian di atas secara eksplisit menunjukkan bahwa ada pembagian kewenangan yang tegas tetapi saling bersinergi. Ini sangat penting untuk menjamin focus dari pelaksanaan tugasnya agar sesuai fungsinya dan bersinergi dengan tugas dan fungsi lain kelembagaan yang terkait. Sinergi ini berarti system dan mekanisme kerja yang ada di satu Lembaga, harus dipahami dan menjadi bagian dari system dan mekanisme kerja di Lembaga lain atau dengan kata lain, system di satu Lembaga menjadi input bagi system di Lembaga lainnya

Keamanan dan keselamatan di ALKI merupakan kewajiban bagi negara pantai untuk menjamin kondisi yang kondusif di wilayah tersebut. Konsep tata kelola yang baik adalah adanya saling ketergantungan (interdependence) dan interaksi dari bermacam aktor kelembagaan yang memiliki peran terpisah tetapi tidak memiliki kontrol yang absolut. Dalam konteks keamanan di laut, maka pembagian peran dapat dilihat dari interaksi antar elemen yang ada di dalamnya.

Bila melihat kerangka kerja keamanan maritim dibangun oleh konstruksi keamanan nasional, manusia, lingkungan dan kegiatan ekonomi maka kegiatan sebagai system dalam kerangka kerja keamanan maritim di atas akan meliputi subyek yang memanfaatkan lingkungan maritim dengan semua aspek didalamnya, subyek yang membuat kebijakan dan regulasi pemanfaatan lingkungan maritim, dan subyek yang megawasi dan melakukan penegakan hukum atas aktivitas di lingkungan maritim.

Pendekatan ini didasarkan pada konsep pembagian kekuasaan Montesque yang dikenal dengan “trias politica” bahwa kekuasaan-kekuasaan sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Ini artinya bahwa dalam setiap kehidupan bernegara perlu untuk dilakukan pemisahan kekuasaan yang sederajat dan saling mengendalikan atau mengimbangi satu sama lain (check and balance). Pembagian kekuasaan juga akan mencegah terjadinya kesewenangan.

Identik dengan konsep trias politica yaitu eksekutif, yudikatif dan legislative, maka subyek-subyek dalam keamanan maritim dapat dikelompokkan menjadi pembuat kebijakan dan peraturan (fungsi legislative), pelaku ekonomi sebagai pemanfaatan dan pelaksanaan kebijakan dan peraturan (fungsi eksekutif) dan penegak hukum (fungsi yudikatif).

Pembuat kebijakan dan peraturan adalah kementerian lembaga pemangku kepentingan yang memiliki tugas dan tanggung jawab secara luas menyusun, merumuskan, menetapkan, mensikronisasi dan mengoordinasikan pelaksanana kebijakan sesuai bidang tugasnya.

Pengguna atau pemanfaat kebijakan dan peraturan adalah penggiat dan pelaku ekonomi yang membutuhkan kepastian hukum terkait dengan proses bisnis dalam rangka transformasi nilai atau menciptakan nilai tambah dalam lingkungan maritim yang memiliki dampak luas terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Penegakan kebijakan dan peraturan adalah lembaga yang melaksanakan penindakan dalam rangka menjalankan fungsi membantu pembuat kebijakan dalam pembinaan, pengawasan pelaksanaan dari kebijakan dan peraturan yang dibuat termasuk penindakan pelanggaran terhadap kebijakan dan peraturan yang dibuat.

Implikasi dari pembagian ini adalah mereduksi kapasitas penegakan hukum yang dimiliki oleh kementerian dan lembaga, dan meleburkannya kedalam lembaga penegak hukum sehingga kementerian dan lembaga dapat focus untuk menggunakan anggarannya untuk menciptakan program-program peningkatan kinerja dari bidangnya.

Dampak dari pembagian ini adalah efektivitas dan efisiensi anggaran baik kementerian lembaga pembuat kebijakan dan lembaga penegak hukum serta tentu saja pelaku ekonomi yang juga mendapat manfaat tambahan sebagai kepastian hukum.

Secara sederhana dapat diberikan analogi bahwa sebuah lembaga tentu memiliki tugas, peran dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan dengan menggunakan semua sumber daya yang dimiliki termasuk anggaran. Dengan pembagian kewenangan ini maka setiap kementerian dan lembaga akan dapat melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien pada tupoksi yang dimiliki sehingga tidak terjadi overlapping peran yang justru akan menimbulkan tumpang tindih dan ketidakpastian hukum.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tinjauan Serangan Pearl Harbour

Implementasi Pemberdayaan Wilayah Pertahanan laut di Wilayah Kerja koarmabar Guna Mendukung Pertahanan dan Keamanan Nasional Dalam Rangka Mewujudkan Poros Maritim Dunia

Tinjauan Konflik Serbia-Kosovo