Proliferation Security Initiative

1. Definisi
Proliferation Security Initiative merupakan upaya secara global untuk menghentikan penyelundupan senjata pemusnah masal atau weapon of mass destruction(WMD), system pengirimannya dan material-material yang berhubungan dengan senjata pemusnah masal ke dan dari pelaku negara dan non-negara di seluruh dunia. Senjata pemusnah masal yang dimaksud antara lain meliputi senjata kimia, biologi, nuklir dan lain lain yang dapat menyebabkan kehancuran secara luas.

2. Latar Belakang
Inisiatif ini digagas oleh Presiden George W. Bush pada tanggal 31 Mei 2003 di Cracow polandia dan diikuti oleh 11 negara pada awal terbentuknya. Adapun yang melatar belakangi terbentuknya PSI ini adalah mencuatnya isu mengenai terorisme yang diawali dengan kejadian 11 september (black September) yang kemudian memberikan arah baru kebijakan amerika yaitu Global War On Terror (GWOT).
Perkembangan dari GWOT ini semakin intensif dengan munculnya berbagai kejadian peyelundupan yang digagalkan. Salah satunya adalah kasus So San dimana kapal yang membawa peralatan dan material nuklir dari Korea Utara menuju Iran. Keadaan ini dimungkinkan karena masih rancu aturan dalam perjanjian pengembangan nuklir yang tertuang dalam Non Poliferation Treaty dimana terdapat perbedaan yang jelas antara penggunaan nuklir untuk kepentingan senjata dan nuklir untuk kepentingan non militer. Pelarangan hannya difokuskan untuk pengembangan nuklir untuk kepentingan militer saja. Hal ini menjadi celah yang dimanfaatkan untuk melakukan distribusi material nuklir dan senjata pemusnah masal lainnya.
Keadaan ini lah yang kemudian mendorong sejumlah negara untuk mendeklarasikan diri memerangi distribusi illegal senjata pemusnah masal dan materinya dimana sebagian besar dilakukan melalui media laut dan udara. Tujuan dari proliferation security initiative ini adalah untuk mencegah meluasnya senjata pemusnah masal atau weapon of mass destruction ini yang dapat menjadi terror bagi kelangsungan hidup manusia.


3. Aktifitas
Menurut negara-negara yang telah tergabung dalam proliferation security initiative bahwa ini bukan sebuah organisasi melainkan akifitas yang dilakukan secara bersama. Hal ini sebenarnya memiliki kekurangan dimana tanpa adanya suatu bentuk organisasi menyebabkan anggaran dalam pelaksanaan kegiatan tergantung pada masing-masing negara serta belum adanya prosedur standar dalam operasi bersama.
Aktifitas yang dilakukan adalah VBSS atau visit, board, seach, seizure atau secara umum dikenal dengan henrikhan. Dimana suatu kapal yang berlayar di laut apapun (territorial maupun bebas) bila dicurigai dapat dilakukan prosedur penghentian dan pemeriksaan dan bila diduga membawa senjata pemusnah masal atau materialnya maka kapal tersebut dapat ditahan.
Hal ini sebenarnya bertentangan dengan pasal dalam UNCLOS yang memberikan ketentuan penahanan pada masalah illegal trafficking yang didalamnya tidak tercantum aktifitas membawa nuklir sehingga tindakan penahanan ini sebenarnya melanggar hukum internasional.
Ketentuan yang disepakati oleh kerjasama dalam proliferation security initiative ini adalah bahwa diijinkan oleh kapal lain untuk melakukan henrikhan terhadap kapal yang dicurigai tersebut yang dilakukan di wilayah negara yang lainnya. Dalam hal ini menyebabkan adanya bias terhadap kewenangan penegakkan kedaulatan terutama bila kejadian tersebut terjadi di wilayah territorial. Namun hal ini hanya berlaku bagi negara yang telah tergabung dalam proliferation security initiative semata dan mengakibatkan berbagai upaya dilakukan oleh amerika dan aliansinya untuk mengajak sebanyak mungkin negara-negara lain untuk bergabung dengan proliferation security initiative ini termasuk Indonesia.
Indonesia sendiri belum mengambil sikap karena beberapa factor seperti ketidak sesuaian aturan dengan hukum internasional dan sangat mungkin terjadinya adanya pelanggaran kedaulatan. Namun demikian Indonesia juga melihat sisi positif dari kepentingan dunia untuk mencegah penyebaran dan pengembangan senjata pemusnah masal tersebut sehingga Indonesia masih memikirkan lebih jauh untuk menerima dengan prinsip terbatas terhadap ketentuan dalam proliferation security initiative tersebut dalam hal cakupan dan segi waktu.
Negara-negara dikawasan asia pasifik yang telah menyetujui dan tergabung dalam proliferation security initiative adalahBrunei, Australia, Jepang, New Zealand dan Singapura. Sedangkan negara seperti China, India, Malaysia, Korea Selatan dan Indonesia masih belum menyetujui atau meratifikasinya.
4. Upaya
Berbagai upaya dilakukan oleh amerika dan aliansinya yang tergabung dalam proliferation security initiative untuk mengajak seluruh negara didunia untuk meratifikasi kesepakatan tersebut melalui lobi-lobi yang gencar dilakukan. Langkah lain yang dilakukan adalah melakukankegiatan-kegiatan yang sebenarnya terkait dengan proliferation security iniutiative tersebut. Sejauh ini telah 84 negara yang bergabung dengan proliferation security initiative ini dan selama lebih dari 5 tahun ini telah 30 kasus yang diungkap. Kegiatan yang dilakukan antara lain:
a. Illicit Activities (IA)
Kegiatan ini merupakan usaha AS bersama sekutunya dalam menekan pemerintah Korea Utara agar mau menandatangani perjanjian proliferation senjata pemusnah massal. Pada intinya AS dan sekutunya mengangkat isu-isu dan berita yang menyatakan bahwa Pemerintah Korut terlibat dalam perdagangan obat terlarang, penyelundupan baik senjata maupun barang-barang lainnya, money laundrying dll.
Dengan demikian mereka mempunyai alasan untuk menekan/memeriksa kapal-kapal dari dan ke Korut, sehingga dapat menyebabkan terganggunya perekonomian Korut, sehingga pada akhirnya mau melakukan keinginan AS dan sekutunya untuk menghentikan program pembuatan senjata pemusnah massal/nuklir. Posisi Indonesia dalam hal ini juga tidak mendukung inisiatif IA.

b. Regional Maritime Security Initiatives (RSMI)
RMSI merupakan inisiatif dari US Navy/ Pacific Command yang secara umum bertujuan untuk memerangi terorisme serta transnasional crimes yang terjadi di dan lewat laut di kawasan Asia Pasifik.
Namun demikian tujuan utamanya adalah mencegah/mengatasi teroris yang mencoba menyerang dengan menggunakan senjata pemusnah massal, baik berupa senjata nuklir, kimia maupun biologi. Kalau dicermati lebih jauh, RMSI ini merupakan usaha US Navy dalam menjabarkan PSI di kawasan Asia Pasifik. Posisi Indonesia/TNI AL dalam hal ini tidak mendukung RMSI.
c. South East Asian Cooperation Against Terrorism (SEACAT)
SEACAT merupakan latihan manuvra di laut selama seminggu, dengan tujuan utama untuk melaksanakan latihan practical maritime interception and boarding terhadap kapal-kapal yang dicurigai dibajak atau digunakan oleh para teroris untuk melaksanakan niatnya. SEACAT ini dilaksanakan di wilayah Asia Tenggara. Negara yang selama ini areanya dipergunakan untuk latihan adalah Thailand, Philipina dan Singapura (menggunakan wilayah ZEEI di Laut China Selatan).
SEACAT terakhir dilaksanakan tanggal 14 s.d. 22 Agustus 2007 dengan area latihan di Selat Malaka, Selat Singapura, Laut China Selatan(ZEEI) dan Laut Sulu. Singapura, Malaysia, Brunei, Philipina dan Thailand mengirimkan unsurnya dalam kegiatan ini, sedangkan TNI AL hanya mengirimkan 2 orang Observer.
Posisi TNI AL tidak mendukung SEACAT, karena latihan ini merupakan bentuk pelaksanaan dari PSI di kawasan Asia Tenggara.

Amerika dhi. US Navy melalui CNO nya (waktu itu) ADM Mullen, telah menggagas sebuah visi strategis dalam rangka menciptakan kemanan maritim secara global melalui konsep “1000 ships”. Ini didasarkan kepada pemikiran bahwa tidak mungkin AS dapat menjaga dunia/menjadi polisi dunia terutama dalam bidang keamanan maritim, tanpa adanya dukungan/ kerjasama dari negara-negara di wilayah regional atau pun di wilayah perairan masing-masing negara. Selain itu dalam mengoperasikan unsur-unsur US Navy di seluruh dunia, tentu memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Dengan adanya konsep ini maka US Navy mengharapkan bahwa angkatan laut setiap negara dapat saling bekerjasama baik dengan negara di kawasan maupun dengan US Navy.
Hal ini juga dilatar belakangi oleh adanya suatu konsep “interoperability”, yang diadopsi dari konsep yang berlaku di NATO (North Atlantic Treaty Organization). Dengan konsep ini maka US Navy juga mengharapkan bahwa antar angkatan laut dapat saling bekerjasama terutama untuk kepentingan operasi bersama, baik dari sisi penggunaan fasilitas maupun prosedur dalam melakukan operasi bersama.
Dengan adanya konsep-konsep yang bersifat strategis yang digagas serta dilaksanakan oleh AS beserta sekutunya, TNI AL seolah dipaksa untuk mengikuti sistem/konsep ini. Namun demikian posisi TNI AL tetap untuk tidak terbawa kedalam suatu wadah aliansi/persekutuan, mengingat sampai dengan saat ini negara-negara tersebut masih sering memberlakukan embargo terhadap TNI/TNI AL yang selalu dikait-kaitkan dengan isu HAM dll.
Dalam konteks keamanan maritim, negara-negara di dunia seolah digiring oleh AS dan sekutunya untuk mengedepankan masalah terorisme maritim, apalagi dengan adanya kasus USS Cole yang diledakkan oleh “teroris” di Perairan Yaman. Sehingga setiap kali ada seminar maupun diskusi masalah keamanan maritim, kita sering digiring/dijebak untuk hanya berbicara masalah terorisme di laut. Beberapa inisiatif yang dilakukan AS secara global maupun di kawasan (PSI, IA, SEACAT, RMSI, CARAT) menunjukkan bahwa pada intinya US Navy secara pro aktif telah menjabarkan policy Pemerintah AS dalam “Global War on Terror” (GWOT).
Dalam mendefinisikan keamanan maritim setiap negara bisa saja berbeda, tergantung dari kepentingan nasional masing-masing negara. Keamanan maritim versi US Navy hanya menyangkut masalah terorisme di laut (termasuk pembajakan), dikaitkan dengan penggunaan WMD oleh para teroris tersebut.

5. Sudut Pandang
Berbagai pandangan mengalir sejalan dengan aktifitas dari proliferation security initiative sejauh ini.
a. Pandangan positif
Beberapa individu perorangan maupun negara berpandangan positif dengan melihat efek manfaat yang ditimbulkan dimana dapat mencegah distribusi gelap senjata pemusnah masal yang tentu saja dalam jangka panjang akan menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup manusia.
Hal yang sebenarnya masih menjadi celah dalam perjanjian non-proliferation treaty. Aktifitas ini juga merupakan bentuk dari pre-emptive self defense terhadap potensial ancaman yang ada berdasarkan perkembangan lingkungan strategis.
Selain itu juga dengan peningkatan rutinitas kehadiran di laut juga meningkatkan keamanan laut itu sendiri. Namun demikian beberapa juga meski positif mendukung berpendapat bahwa sebenarnya dalam proliferation security initiative ini diperlukan adanya penekanan pada pertukaran informasi.



b. Pandangan negatif
Sedangkan sebagian lagi berpandangan negative dikarenakan aktifitas yang dilakukan sangat memungkinkan adanya pelangggaran kedaulatan terutama bila kejadiannya terjadi di wilayah laut territorial.
Hal ini tentu sangat menganggu integritas suatu bangsa dimata dunia. Selain itu pula terdapat pertentangan dengan pasal dalam hukum internasional UNCLOS. Beberapa lagi berpandangan bahwa proliferation security initiative ini sarat kepentingan kelompok atau blok sehingga tidak bersifat multilateral.
Pengaruh yang paling dirasakan adalah pengaruh negative yang terjadi pada aktifitas ekonomi dari segi transportasi perkapalan (shipping). Tindakan henrikhan ini secara langsung akan memberikan pengaruh pada jadwal dan berefek domino pada perekonomian. Meskipun demikian terdapat pandangan bahwa efek negative yang ditimbulkan dari tindakan henrikhan ini tidak signifikan dibanding dengan kejadian perompakan dan pembajakan di selat-selat.
Proliferation security initiative ini juga bukan merupakan jaminan tidak adanya penyelundupan senjata dikarenakan dengan berlakunya proliferation security initiative ini justru semakin mendorong adanya penyelundupan dengan menggunakan kapal-kapal yang benar-benar dilakukan secara gelap atau melalui darat yang masih sulit untuk di track dimana dilakukan dengan pola transit melewati negara-negara.

6. RekomendasiBeberapa usulan ditawarkan untuk menyelesaikan polemik hukum yang berkepanjangan ini. Langkah yang ditawarkan antara lain adalah dengan membentuk suatu lembaga netral dibawah PBB yang berwenang dalam menyusun prosedur standar termasuk mengumpulkan informasi yang akurat, mengolah dan menginstruksikan tindakan yang dilakukan sehingga tidak terjadi kesalahan dalam henrikhan yang dapat memberikan kerugian bagi pihak yang diperiksa.
Selain itu dapat dikatakan bahwa sebenarnya pertentangan dengan hukum internasional relative tidak berarti, khususnya karena dalam keadaan negara yang wilayahnya terdapat kapal yang dicurigai memberikan ijin untuk melakukan tindakan henrikhan tersebut.
Bagi amerika sendiri sebagai penggagas seyogyanya memberikan contoh yang baik terhadap pelaksanaan dari proliferation security initiative ini. Hal ini disebabkan beberapa negara telah lebih dulu skeptis dan apatis dengan sikap amerika yang selalu menerapkan standar ganda karena adanya niat tertentu. Sehingga alangkah bijak apabila amerika dan aliansinya lebih mau meniadakan standar ganda tersebut dan melakukan transparansi tentang niat y ang dimiliki dalam melakukan
suatu aksi penindakan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tinjauan Serangan Pearl Harbour

Implementasi Pemberdayaan Wilayah Pertahanan laut di Wilayah Kerja koarmabar Guna Mendukung Pertahanan dan Keamanan Nasional Dalam Rangka Mewujudkan Poros Maritim Dunia

Tinjauan Konflik Serbia-Kosovo