Mengelola Hak Indonesia di Laut Natuna Utara
Dinamika perkembangan lingkungan strategis di kawasan regional Asia Tenggara khususnya saat ini masih tetap hangat dengan adanya beragam friksi antara negara pantai dan negara yang berkepentingan di Laut China Selatan. China dengan Blue Sea Campaign 2020 lalu Amerika dengan Freedom of Navigation Operation (FONOPS) dan negara-negara pantai claimant di LCS dengan klaim hak berdaulatnya berdasarkan UNCLOS 1982.
Indonesia sendiri menempatkan diri sebagai negara non-claimant dalam kisruh nine dashed line di LCS. Kemenlu RI telah menegaskan tidak ada masalah perbatasan dengan China. Permasalahan batas hanya terjadi bila kedua pihak yang bersengketa saling menunjukkan koordinat titik batas sesuai klaimnya. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh China sehingga tentu tidak mungkin Indonesia berunding tentang masalah perbatasan karena memang tidak ada permasalahan tersebut.
Tentu hal ini berbeda dengan Malaysia dan Vietnam. Indonesia memiliki permasalahan overlapping claim ZEE dengan kedua negara tersebut, menciptakan grey area yang menjadi focal area penting karena tingginya potensi friksi secara langsung terkait dengan penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat hukum negara-negara yang bersengketa batas.
Gambar 1. Overlapping claim di LNU
Sumber: Hidros, 2020
Laut Natuna Utara dimana overlapping claim itu terjadi, juga berbatasan langsung dengan LCS. Ini tentu menjadikannya sebagai wilayah yang penting untuk dijaga dan diamankan. Potensi sumber daya alam, jalur perdagangan dan lalu lintas energy menjadikan Laut Natuna Utara memiliki nilai strategis yang sangat penting. Meningkatnya populasi penduduk dunia, menurunnya ketersediaan energy, air dan pangan tampaknya akan membuat konsep lebensraum (ruang hidup) menjadi terus eksis. Ruang hidup yang lebih luas untuk memenuhi kebutuhan hidup bangsa menjadi salah satu kepentingan nasional bangsa-bangsa di dunia. Ini juga terlihat dari ketatnya upaya penyelesaian batas wilayah antar negara di dunia.
Lalu bagaimana mengelola Laut Natuna Utara untuk kepentingan nasional Indonesia? Ini merupakan tantangan yang besar karena tentu saja pengelolaannya harus melibatkan banyak pihak. Ditengah keterbatasan dan ancaman yang harus dihadapi, kondisi kekuatan dan peluang yang dimiliki, perlu ada suatu langkah dan upaya strategis yang disiapkan untuk menghadapi situasi yang ada. Bila melihat kondisi saat ini di Laut Natuna Utara, Indonesia meskipun sebagai non-claimant, bisa terlibat bila ada spill over dari konflik di LCS yang mengganggu hak berdaulat dan kedaulatan di Laut Natuna Utara. Hal yang perlu diwaspadai adalah konflik sekecil apapun yang terjadi di laut bisa menjadi perang atau konflik yang berkepanjangan
Mengelola situasi yang dinamis di Laut China Selatan membutuhkan dua pendekatan diplomasi yaitu pendekatan jangka pendek dalam bentuk kehadiran di laut, untuk menunjukkan kemampuan menguasai wilayah dan menegakkan hukum nasional sebagai bentuk effective occupation dan deterrence. Sedangkan pendekatan kedua adalah pendekatan jangka panjang yaitu dalam bentuk membangun saling percaya dan kesepahaman, menciptakan kebersamaan untuk menjamin situasi yang kondusif dan aman.
Dari kerangka dua kegiatan ini, perlu disusun suatu konsepsi kebijakan strategis dan upaya untuk menjadi pedoman bersama dalam pengelolaan situasi dan keamanan di Laut Natuna Utara. Konsepsi ini disusun melalui pendekatan faktor internal dan eksternal yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman.
Kondisi saat ini di wilayah Natuna telah digelar satuan TNI terintegrasi, yang dapat berperan sebagai pangkalan aju. Instansi maritim seperti TNI AL, Bakamla dan KKP juga telah menggelar satuan patrolinya dalam operasi mandiri. Karena jumlahnya terbatas, maka diperlukan operasi bersama dengan menerapkan pola patroli dalam kesatuan komando (unity of command).
Aktivitas di Laut Natuna Utara tidak saja harus dilakukan oleh instansi penegak hukum tetapi juga perlu dilakukan berbagai kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Saat ini, kegiatan perikanan dan juga penelitian kelautan di Natuna masih rendah. Para nelayan natuna hanya memiliki kapal ukuran 10 GT kebawah dan melaut untuk sekedar memenuhi kebutuhan makan harian semata. Laut Natuna Utara berada dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI (WPPNRI) 711 yang memiliki potensi perikanan 504.212 ton per tahun, namun baru dimanfaatkan sekitar 20,8 persen[1]. Hal ini juga disebabkan karena kecilnya kapasitas kapal modern 30 GT ke atas dan yang beroperasi di Natuna hanya 0,1 persen dari 4639 kapal ukuran tersebut di Indonesia[2].
Untuk meningkatkan eksploitasi perikanan, Menkopolhukam sempat menginisiasi kebijakan mengirimkan kapal-kapal nelayan dari Pantura yang berkapasitas 30 GT ke atas yang mampu menjangkau ZEE. Namun demikian kebijakan tersebut tidak berjalan baik karena hasil yang didapat dengan alat tangkap yang ada tidak ekonomis, berbanding terbalik dengan kapal ikan Vietnam dan Malaysia yang menggunakan trawl. Menurut Balai Penelitian Perikanan Laut dalam laporan penelitiannya, WPPNRI 711 eksploitasinya akan efektif bila menggunakan trawl[3].
Demikian juga kegiatan eksplorasi dalam bentuk riset kelautan dan energi dapat dikatakan belum terpadu dan masih sangat kecil intensitasnya. Penelitian tentang komposisi ikan demersal dilakukan terakhir tahun 2005-2006 dengan menggunakan Kapal Riset SEAFDEC 2[4]. Dengan demikian perlu adanya inisiatif lembaga riset ilmiah seperti BPPT, LIPI dan lembaga riset kementerian lainnya untuk mengeksplorasi potensi kekayaan alam terkini yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi lainnya.
Dengan mempertimbangkan faktor pengaruh diatas maka dapat disusun tiga konsep langkah yaitu:
1. Sustainable maritime presence atau kehadiran di laut secara terus menerus, selektif dan menunjukkan intensi secara langsung dan tidak langsung. Strategi ini merupakan implementasi pendekatan diplomasi jangka pendek.
2. Sustainable maritime exploration & exploitation atau mendorong eksplorasi dan eksploitasi sumber daya laut, penelitan dan pengembangan tentang kelautan di Laut Natuna Utara. Strategi ini merupakan kombinasi implementasi pendekatan diplomasi jangka pendek dan jangka panjang.
3. Sustainable maritime trust building atau membina hubungan baik dengan semua piihak yang terlibat konflik, menjalin kerjasama pada tiap lapisan secara selektif. Strategi ini merupakan implementasi pendekatan jangka panjang.
Gambar 2. Konsepsi Strategi Maritim Indonesia di LNU
Sumber: Bakamla, 2020
Presence at sea
Simbol-simbol negara harus hadir di Laut Natuna Utara, tidak ada cara lain untuk membangun daya tangkal. Kehadiran di laut secara konsisten dan terus menerus menunjukkan intensi, apalagi disertai dengan kemampuan dalam bentuk dimensi, daya pukul, manuverability dan semua dukungan eksternal tentu akan meningkatkan daya tangkal. Formulasi ancaman menurut Richmond Lloyd, dimensi ancaman ditentukan dari adanya niat (intention), adanya kemampuan (capability), dan adanya kondisi pendukung (circumstance)[5].
Tujuan (ends) dari presence at sea adalah mengendalikan laut dan mencegah penggunaannya oleh pihak lain (sea control and sea denial). Sedangkan sarana (means) yang digunakan untuk mencapai tujuan ini adalah semua armada patroli laut dan udara, sarana penginderaan dan peringatan dini termasuk media sebagai sarana membentuk opini yang menggandakan dampak penangkalan. Implementasinya (ways) adalah melalui gelar operasi bersama terpadu, gelar kekuatan “otot” sarana patroli pada waktu dan wilayah secara selektif, dan pemberitaan kegiatan dan aktivitas yang intensif.
Explore/Exploit the sea
Laut yang terkendali tentu akan sia-sia apabila dibiarkan tanpa dikelola atau dimanfaatkan semua potensinya yang ada. Pemberdayaan potensi ekonomi melalui eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam maka kinerja simbol-simbol negara yang hadir menjaga perairan menjadi terlihat dan terukur secara positif. Kalkulasi cost benefit ratio(CBR) tentu dapat menghitung optimalisasi biaya dan kualitas gelar operasi kehadiran simbol negara yang berdampak pada kondisi keamanan dan pembangunan ekonomi secara nyata[6].
Tujuan dari strategi ini adalah laut yang terkelola pemanfaatannya untuk kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai ini maka tidak ada cara lain, dengan melakukan penangkapan ikan dan budidaya perikanan, melaksanakan penelitian dan pengembangan kelautan oleh lembaga penelitian nasional maupun bekerjasama dengan lembaga penelitian internasional. Semua kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan semua sarana yang ada seperti kapal ikan, kapal survei, pelabuhan, storage dan infrastruktur pendukung lainnya.
Trust by sea
Kepercayaan dunia internasional menjadi modal berharga dan penting untuk dapat berperan langsung mempengaruhi dinamika lingkungan strategi yang terjadi di wilayah konflik maritim. Politik luar negeri indonesia yang bebas dan aktif merupakan kunci utama yang diwariskan oleh bapak pendiri bangsa. Bebas yang dimaksud bukan berarti Indonesia tidak boleh memilih, tetapi berarti Indonesia bebas menentukan sikap. Dalam konflik di LCS, sikap Indonesia jelas dan tegas, tidak mengakui klaim china, dan memilih pendekatan multilateral untuk menyelesaikan masalah LCS sesuai dengan prinsip dasar ASEAN.
Tujuan dari strategi ini adalah memiliki daya tawar tinggi dalam keterlibatan menyelesaikan masalah internasional khususnya di bidang maritim. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya manusia yang menjalankan peran sebagai diplomat dan wakil dalam lembaga dan forum internasional yang melakukan komunikasi formal dan informal, membangun kerjasama untuk meningkatkan saling percaya selain mengembangkan kapasitas dan kapabilitas.
Mengelola Laut Natuna Utara bertumpu pada tiga pilar strategi maritim tersebut. Ketiga pilar itu menggambarkan bahwa dibutuhkan kerjasama multi sektor untuk mewujudkan Laut Natuna Utara yang terkendali dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan nasional Indonesia. “leadership drives the system which creates results” atau kepemimpinanlah yang menggerakkan sistem, yang menciptakan hasil-hasil, maka agar pilar tersebut dapat berperan dengan optimal, dibutuhkan kepemimpinan untuk menjamin implementasi perannya.
Pilar “presence at sea” bertumpu pada semua instansi maritim yang memiliki kapal patroli, khususnya TNI AL, Bakamla dan KKP. Dan untuk masa damai, maka Bakamla menjadi “ketua kelas” dengan dibackup oleh TNI AL dan KKP, sedangkan pada masa perang, TNI AL menjadi terdepan, dan Bakamla bersama KKP menjadi kekuatan pengganda matra laut.
Pilar “explore/exploit the sea” bertumpu pada semua instansi yang mengelola sumber daya yaitu KKP dan ESDM. Kondisi Laut Natuna Utara lebih tampak aktivitas penangkapan ikan sehingga KKP menjadi “ketua kelas” yang didukung oleh lembaga-lembaga penelitian kelautan nasional, memberikan rekomendasi untuk pengelolaan sumber daya alam yang optimal.
Sedangkan pilar “trust build by sea” bertumpu pada instansi yang memiliki counterpart atau hubungan kerjasama dengan lembaga asing/LN. Setiap instansi dapat melakukan kerjasama membangun kapasitas dan saling percaya. Tentu saja Kemenlu sebagai pembuat kebijakan menjadi “ketua kelas”, memandu dan membingkai kerangka hubungan antar instansi tersebut.
Kepentingan nasional Indonesia atas Laut Natuna Utara adalah terjaminnya keamanan pengelolaan laut untuk kepentingan masyarakat natuna khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Terlepas dari “para ketua kelas dan anggotanya”, Laut Natuna Utara membutuhkan kontribusi peran seluruh elemen bangsa untuk terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia.
“Guarding the Seas for Our Future”
[2] https://republika.co.id/berita/qdneej374/baru-208-persen-potensi-laut-di-natuna-yang-dimanfaatkan
[3] BPPL KKP (2014), Potensi Dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI), Penerbit REF Grafika Jakarta, hal.70
[4] Ibid, hal 68.
[5] P.H. Liotta, Richmond M. Lloyd. (2005). From Here to There: The Strategy and Force Planning Framework. Naval War College Review, Spring 2005, Vol. 58, No.2. Hal. 131
[6] Boardman, A., Greenberg, D., Vining, A., & Weimer, D. (1996). Cost Benefit Analysis: Concepts and Practice. Prentice Hall
Komentar
Posting Komentar