Optimalisasi Diplomasi TNI AL Guna Mengantisipasi Konflik LCS

Optimalisasi Diplomasi TNI AL Guna Mengantisipasi Konflik LCS Dalam Rangka Menegakkan Kedaulatan NKRI

1.      LATAR BELAKANG.
Laut China Selatan merupakan salah satu wilayah perairan yang memiliki nilai strategis dengan luas hingga mencapai 3.500.000 Km2. Secara morfologi, Laut China Selatan memiliki sejumlah gugusan pulau dan gosong karang yang berjumlah hingga mencapai 200 gugusan. Sebagian gugusan pulau berada di bawah laut dan sebagian kecil berada di atas permukaan laut. Nilai strategis dari Laut China Selatan adalah menjadi bagian dari jalur perdagangan dan transportasi internasional yang sangat penting bagi masyarakat global. Nilai perdagangan di jalur Laut China Selatan bisa mencapai 5,3 trilyun dollar/tahun[1].
Demikian juga diperkirakan Laut China Selatan memiliki cadangan sumber daya alam yang besar, salah satunya adalah cadangan minyak sebesar 30 miliar metrik ton dan gas sebesar 16 trilyun meter kubik gas. Pergerakan arus dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia atau sebaliknya membuat Laut China Selatan memiliki sumber daya perikanan yang sangat melimpah. Meski belum ada data resmi yang menyatakan potensi sumber daya alam di Laut China Selatan, kondisi ini tentu menunjukkan betapa pentingnya Laut China Selatan bagi kepentingan nasional dari berbagai negara.
Nilai strategis yang dimiliki inilah menyebabkan negara-negara sengketa berpacu meningkatkan kekuatan militer melalui peningkatan anggaran pertahanan untuk melakukan pembaharuan atau peningkatan kemampuan tempur dalam rangka mengantisipasi terjadinya konflik terbuka dalam sengketa di Laut China Selatan.
Setiap pihak yang terlibat maupun tidak terlibat dalam sengketa Laut China Selatan ini harus mampu menahan diri. Hal ini kerap disampaikan oleh semua pihak termasuk ASEAN sendiri telah menyusun tata perilaku yang dirumuskan dalam Code of Conduct dalam pertemuan di Kamboja. Dengan demikian maka langkah yang saat ini paling efektif dan efisien adalah melakukan pendekatan-pendekatan diplomasi dalam rangka mencari solusi untuk memecahkan permasalahan sengketa Laut China Selatan ini.

Indonesia meskipun bukan termasuk negara pengklaim wilayah di Laut China Selatan telah menyadari potensi terbukanya keterlibatan dalam sengketa Laut China Selatan ini dimana wilayah klaim dalam nine dashed line China diketahui memotong atau masuk ke wilayah perairan ZEEI. Beberapa kejadian tindakan suasi kapal-kapal coastguard China yang mengawal kapal ikan China terhadap kapal pemerintah termasuk TNI AL menunjukkan bahwa kehadiran kapal pemerintah dan TNI AL di Laut China Selatan belum memiliki daya tangkal yang optimal. Oleh sebab itu maka diperlukan adanya optimalisasi diplomasi TNI AL guna mengantisipasi konflik Laut China Selatan dalam rangka menegakkan kedaulatan NKRI

2.      FAKTA DAN DATA.
Konflik yang terjadi di Laut China Selatan sudah berlangsung cukup lama. Konflik Laut China Selatan sudah terjadi sejak tahun 1992, dimana pemerintahan China saling tuduh dengan pemerintah Vietnam atas hak pengemboran di Pulau hainan. Berbagai perjanjian dan diplomasi antar negara-negara di sekitar Laut China Selatan dilakukan demi meredam ketegangan.Konflik yang terjadi di Laut China Selatan merupakan upaya negara melakukan pertahanan wilayah dan kedaulatan. Klaim batasan wilayah, pulau dan gugusan pulau yang ada di Laut China Selatan menjadi pemicu konflik antara negara. Berikut adalah tabel klaim negara-negara terhadap Laut China Selatan (Kresno Buntoro dalam Indonesia, ASEAN dan LCS, 2011).
Negara
Klaim Wilayah
Brunei
Pemerintah Brunei tidak mengklaim pulau yang ada di LCS, tetapi Brunei mengklaim ZEE dan landas kontinen yang ditarik dari wilayah Pantai Brunei. Tahun 1984, Brunei mendeklarasikan ZEE yang meliputi Louisa Reef.
China
Pemerintah China mengklaim semua pulau yang ada di LCS. Klaim tersebut berdasarkan alasan historis sejak Dinasti Han (110 AD) dan Ming (1403-1433 AD). Garis batas klaimnya tidak dalam bentuk koordinat sehingga tidak jelas. Pada abad 19 dan awal abad 20, China menyatakan klaimnya terhadap Spratly dan Paracel. Pada perang dunia ke dua wilayah itu diklaim oleh Jepang. Pada tahun 1947 China mempublikasikan peta dengan 9 garis sebagai wilayahnya. Pada tahun 1992 hukum China menegaskan klaimnya. Pada tahun 1974, China menguasai kepulauan Paracel dari Vietnam.
Indonesia
Pemerintah Indonesia tidak mengklaim LCS, tetapi wilayah ZEE dan landas kontinen Indonesia (termasuk lapangan minyak dan gas natuna) akan terpengaruh terhadap klaim-klaim yang dilakukan negara lain. Bahkan ada yang mencoba memasukkan Natuna dalam wilayah klaim sehingga memaksa Indonesia untuk ikut dalam konflik LCS.
Malaysia
Klaim kepulauan Spratly didasarkan pada prinsip landas kontinen dan batas klaimnya dalam bentuk koordinat geografis. Malaysia sudah menguasai 3 pulau dan itu berada di landas kontinennya. Malaysia sudah membangun atau melakukan reklamasi terhadap salah satu attol sebagai hotel.
Filipina
Pemerintah Filipina mengklaim kepulauan Spratly didasarkan pada prinsip proximity serta penjelajahan prang Filipina. Batas klaimnya dalam bentuk koordinat geografis. Pada tahun 1971, Filipina secara resmi mengklaim 8 pulau yang dikenal sebagai Kalayaan sebagai bagian dari Provinsi Palawan.
Taiwan
Klaim Taiwan sama seperti China. Taiwan menguasai Pulau Pratas di Spratly.
Vietnam
Klaim di dasarkan pada prinsip landas kontinen dan meliputi seluruh Spratly termasuk seluruh LCS. Batas klaim tidak tercantum secara jelas. Vietnam juga mengklaim kepulauan Paracel, walaupun direbut China pada tahun 1974.

Saling klaim terkait batas wilayan dan pulau yang ada di Laut China Selatan, memicu ketegangan antara negara. Masing-masing pihak berdasarkan klaim sejarah, prinsip hukum internasional dan perjanjian, merasa paling berhak atas sumber daya alam yang ada di Laut China Selatan. Ketegangan antar negara-negara yang bersengketa membuat situasi sengketa mengarah pada kekuatan militer. Jika sengketa ini berdampak pada ketegangan militer, tidak dapat dipungkiri stabilitas ekonomi negara-negara yang bersentuhan langsung dengan jalur pelayaran di Laut China Selatan akan terganggu.
Sengketa teritorial di Laut China Selatan tidak hanya membahas masalah kedaulatan atas pulau-pulau, tetapi bercampur dengan masalah hak kedaulatan atas landas kontinen dan ZEE. Sengketa teritorial Laut China Selatan memiliki sejarah yang panjang dan melibatkan banyak negara. Tidak sedikit sengketa Laut China Selatan yang berujung pada bentrok kekuatan militer negara-negara yang bersengketa meski pada tingkat yang masih sangat rendah antar unit-unit militer di laut. Penggunaan kekuatan militer untuk menyelesaikan sengketa Laut China Selatan harus dihindari terlebih dahulu. Berbagai pihak harus bisa menahan diri dalam penggunaan kekuatan militernya, termasuk dalam berbagai aktifitas ekonomi seperti eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam untuk sementara waktu.
Indonesia sendiri meskipun tidak memiliki persinggungan di perairan teritorial dengan nine dash line yang digambarkan oleh China, namun secara jelas bersinggungan dengan ZEE Indonesia. Persinggungan secara terbuka telah beberapa kali terjadi antara Indonesia dengan China. Insiden terakhir pada tanggal 17 Juni 2016, saat itu KRI Imam Bonjol menangkap kapal nelayan China KM Han tan Cou yang dibayangi oleh kapal  penjaga pantai China. Pejabat tingkat tinggi China pada awalnya tidak mengakui adanya overlapping claim dan mengakui Natuna milik Indonesia, namun dengan kejadian ini tiba-tiba berubah dan Menlu China melalui juru bicaranya mengatakan antara Indonesia dan China ada overlapping claim[2].
Pernyataan ini tentu memiliki makna yang sangat penting terhadap potensi sengketa di Laut Natuna dimasa mendatang. Upaya-upaya perlindungan terhadap kapal nelayan China oleh kapal coastguard China menunjukkan belum adanya daya gentar dalam penegakkan hukum khususnya di laut. Beberapa kejadian intimidasi terhadap kapal KKP oleh kapal coastguard China memang masih dalam kerangka konflik perikanan dan belum konflik kedaulatan sebagaimana diuraikan oleh Laksamana TNI Ade Supandi menanggapi kejadian intimidasi terhadap kapal KKP yang mencoba menangkap kapal nelayan Kway Fey 10078 sehingga belum dilakukan peningkatan jumlah KRI yang beroperasi di wilayah Natuna dan Laut China Selatan. Meski demikian TNI AL akan terus memantau perkembangan dan penambahan armada TNI AL akan dilakukan berdasarkan eskalasi ancaman.

Kondisi ini memberikan gambaran sebenarnya bahwa kemampuan diplomasi TNI AL belum teruji sesungguhnya dalam spill over konflik Laut China Selatan. Tindakan kapal coastguard China yang mencoba mengintimidasi KRI Imam Bonjol untuk melepaskan kapal nelayan China tangkapan sebagai bentuk state practice. Pada akhirnya kemudian kapal coastguard China tersebut menjauh setelah ada perkuatan KRI Teuku Umar dan KRI Sultan Thaha Syaifudin. Hard diplomacy telah secara nyata dimainkan di Laut China Selatan dan menunjukkan hasil positif meskipun bersifat kasus dan lingkup kecil. Tantangan kedepan adalah terbukanya potensi penggunaan kekuatan dalam jumlah yang lebih besar sehingga menjadi ujian bagi peran diplomasi TNI AL.
Kondisi yang diharapkan adalah kemampuan TNI AL yang mampu menciptakan daya tangkal (deterrence) dengan menunjukkan dampak buruk apabila pihak lain melakukan tindakan perlawanan. Kondisi ini merupakan bentuk lain dari diplomasi yang memiliki karakter hard diplomacy dimana intensi ditunjukkan dengan kekuatan (show of force). Implementasi unjuk kekuatan ini harus dapat diwujudkan melalui gelar kekuatan yang efektif dan efisien dimana dengan sumber daya yang relatif lebih rendah namun mampu menunjukkan intensi secara tegas dan jelas. Pada umumnya kondisi ini hanya dapat dilakukan melalui kombinasi implementasi dengan soft diplomacy. Pendekatan yang lebih komunikatif dan dekat pada dasarnya merupakan media yang tepat untuk mengimplementasikan soft diplomacy tersebut.
Dalam upaya membangun dan menciptakan kondisi kemampuan diplomasi TNI AL yang ideal maka terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi optimalisasi diplomasi yang dapat diuraikan sebagai berikut :

a.      Faktor internal.  Merupakan faktor dari dalam TNI AL yang dapat menjadi kekuatan dan kelemahan dalam optimalisasi diplomasi TNI AL.
1)      Rencana peningkatan kualitas dan kuantitas alutsista.
2)      Kebijakan pengembangan kekuatan TNI AL.
3)      Strategi penggunaan kekuatan melalui operasi sepanjang tahun.
4)      Kondisi nyata alutsista.
5)      Keterbatasan anggaran untuk memenuhi MEF.
6)      C4ISR yang belum memadai.

b.      Faktor eksternal. Merupakan faktor dari luar TNI AL yang dapat menjadi peluang dan kendala dalam optimalisasi diplomasi TNI AL
1)      Kebijakan pemerintah yang mendorong penguatan pada poros ancaman.
2)      kepentingan nasional negara-negara pengguna LCS.
3)      Putusan mahkamah arbitrase internasional.
4)      Pembangunan kekuatan militer negara-negara di LCS.
5)      Implementasi strategi rebalancing AS.
6)      Tindakan asertif china di LCS.

3.      ANALISIS DAN PEMBAHASAN.
Menurut Ken Booth, angkatan laut di dunia  memainkan 3 peran sentral dan universal yaitu peran militer, peran penegakan hukum dan peran diplomasi. Salah satu peran yang penting dan melekat adalah peran diplomasi. Diplomasi banyak didefinisikan sebagai tindakan suasi melalui upaya menunjukkan niat baik dalam konteks positif maupun negatif. Hal ini menunjukkan juga bahwa diplomasi ternyata memiliki makna yang relative mirip dengan kompel, koersion, persuasive atau disuasif.
Sebagai anggota keluarga penangkalan, diplomasi hanya merupakan salah satu cara yang dapat diwakilkan kepada salah satu cara yang dapat diwakilkan kepada salah satu instrument kekuatan militer nasional atau secara bersama. Selain digunakan bagi kepentingan damai atau mengisyaratkan keinginan damai, diplomasi bisa juga dilakukan guna kepentingan yang berorientasi (keras) pada mempengaruhi bahkan memaksakan Negara lain untuk takut atau mengurungkan niat tidak baiknya. Diplomasi angkatan laut pada umumnya lebih popular disebut sebagai gun boat diplomacy yang memiliki konotasi cenderung kearah perilaku yang koersif, meskipun dibawah bendera angkatan laut pun dapat juga melakukannya dalam varian yang lebih berorientasi kearah perdamaian atau isyarat keinginan bersahabat seperti pameran bendera, port visit, latihan bersama, patrol bersama, navy to navy talk, bangun kapasitas, koalisi, bantuan kemanusiaan, bahkan stabilisasi dan konstruksi wilayah.
Angkatan laut menjadi alat yang penting dan efisien bagi kepentingan cooperative diplomacy bahkan siap menjadi instrumen yang lebih keras sebagai coercive diplomacy. Kemampuan ini disebabkan faktor posisi, ruang kebebasan bermanuvra, ketahanan lamanya, dan ruang waktu menempatkan pilihan terbaik. Permasalahan penting yang muncul adalah menentukan penggunaan diplomasi angkatan laut yang tepat. Penentuan ini dapat dilakukan dengan menggunakan langkah kalkulus diplomasi koersif[3] dengan pendekatan faktor-faktor yang memberikan pengaruh terhadap hasil atau outcome.

a.      Kalkulus diplomasi koersif.
1)      Perkiraan tindakan apabila upaya koersif yang dilakukan gagal “memaksakan” keinginan kepada lawan. Ada beberapa pilihan apabila ada keinginan untuk terus ”menekan” yaitu melalui opsi bergabung dengan koalisi, membentuk dan membangun koalisi, atau bertindak sendiri. Dalam langkah awal ini, terkait dengan konflik Laut China Selatan, dapat diperkirakan probabilitas tindakan lanjut Indonesia apabila gagal memaksakan kehendak kepada Negara sasaran maka Indonesia akan mengambil kemungkinan bergabung dengan koalisi. Saat ini koalisi yang sangat mungkin adalah melalui ASEAN.
2)      Memperhitungkan indeks kekuatan Negara sasaran dan menentukan kategori Negara sasaran meliputi Negara kuat global, Negara kuat regional dan Negara lemah. Dengan membandingkan angka Global Power Indeks, Negara sasaran berada di tiga besar sedangkan Indonesia berada diperingkat 14. Sehingga dapat dikatakan termasuk KUAT DALAM KONTEKS GLOBAL dan akan sangat beresiko untuk terlibat konflik secara langsung.
3)      Menentukan tingkat dukungan public, dampak pemberitaan, dukungan instansi pemerintah, dukungan internal, dan dukungan dari lembaga asimetris. Dengan melihat perkembangan situasi yang ada saat ini dimana konflik Laut China Selatan seakan merupakan konflik bersama melawan satu Negara sasaran maka dapat dipastikan DUKUNGAN POSITIF YANG CUKUP TINGGI ditunjang dengan semangat nasionalisme bangsa.
4)      Menentukan cost-benefit (untung-rugi) dari upaya untuk menjamin kepentingan nasional sendiri dihadapkan dengan kekuatan Negara sasaran. Hasil penentuan diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kondisi yaitu merah, kuning dan hijau. Dengan melihat kondisi Negara sasaran yang masuk dalam kategori Negara kuat, dihadapkan dengan kondisi upaya yang mungkin dilakukan Indonesia relatif tidak besar karena berbagai pertimbangan seperti anggaran dan ketersediaan sumber daya pendukung lainnya, maka kemungkinan cost-benefit berada pada klasifikasi YELLOW sampai RED.
5)      Menentukan tingkatan eskalasi yang mungkin terjadi akibat langkah koersif yang diambil. Dengan mengamati nasionalisme, tindakan asertif, dan state practice yang dilakukan Negara sasaran. Maka dapat disimpulkan bahwa Negara sasaran MEMILIKI POTENSI TINGGI UNTUK MENDORONG TINGKAT ESKALASI SEGERA MENGALAMI PENINGKATAN.
6)      Membandingkan kesetimbangan adanya tingkat dukungan dan tingkat eskalasi. Hasil penentuan diklasifikasikan dalam 2 (dua) kondisi yaitu sesuai harapan dan tidak sesuai harapan. Dengan membandingkan potensi tingkat dukungan dan tingkat eskalasi dimana tingkat eskalasi sangat dimungkinkan lebih tinggi sedikit dari tingkat dukungan maka dapat disimpulkan bahwa kondisi kesetimbangan berada pada kondisi YANG TIDAK DIHARAPKAN.
7)      Menentukan matriks dengan membandingkan cost-benefit, dan uji kesetimbangan, antara tingkat dukungan dan tingkat eskalasi. Dengan melihat posisi cost-benefit yang berada pada area YELLOW dan RED dihadapkan dengan uji kesetimbangan berada pada kondisi YANG TIDAK DIHARAPKAN maka tindakan koersif yang mungkin dilakukan dalam kategori FOLD atau CALL.

Dari hasil analisis melalu proses kalkulus diplomasi koersif diatas maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan diplomasi yang dilakukan Indonesia terhadap konflik di LCS adalah dalam kategori berkisar FOLD atau maksimum CALL.



KATEGOR TINDAKAN
FOLD
CALL
RAISE
Melakukan protes
mengancam secara implisit
Mengancam secara terbuka
Sanksi
“coba-coba”
Melakukan blokade
Pemutusan hubungan
mensiagakan kekuatan militer
Berniat perang
Bersikap membingungkan
embargo
Penggelaran kekuatan tempur
Meredakan ketegangan
unjuk kekuatan

Mengajak pihak lain untuk melakukan koersi
sikap ambigu dalam konteks strategis


b.      Strategi dan upaya
Dari hasil analisis kalkulus diplomasi koersif dapat dipastikan bahwa tindakan koersif yang melibatkan TNI AL dilakukan secara tidak berlebihan dan membabi buta. Upaya yang dilakukan adalah tetap mendorong upaya penyelesaian secara damai dan menekan insiden yang terjadi hanya pada tataran taktis dan tidak meluas. Dari bentuk-bentuk FOLD dan CALL ini yang mungkin dilakukan oleh TNI AL adalah mendukung kegiatan-kegiatan mensiagakan kekuatan dan unjuk kekuatan terbatas.
Dalam konteks permasalahan optimalisasi di atas maka TNI AL dapat memaksimalkan peran diplomasinya melalui kegiatan siaga kekuatan dan unjuk kekuatan terbatas dengan melakukan berbagai optimalisasi dari sumber daya-sumber daya yang dimiliki. Dengan demikian maka diperlukan implementasi kebijakan optimalisasi diplomasi yang dijabarkan dalam strategi optimalisasi diplomasi yang disusun dengan mempertimbangkan faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan kendala yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1)      Mendorong peningkatan daya tangkal di Laut Cina Selatan dengan meningkatkan elemen-elemen penangkalan meliputi kapabilitas, kredibilitas dan komunikasi. Upaya yang dilakukan untuk dapat mengimplementasikan strategi ini adalah sebagai berikut :
a)      Men”deploy” kapal perang jenis frigate atau korvet yang memiliki daya tangkal relative tinggi atau KRI lain dalam gugus tugas (dua atau lebih unsur secara bersamaan).
b)      Meningkatkan kemampuan tempur atau combat capability melalui peningkatan kemampuan sewaco KRI yang diproyeksikan akan melakukan tugas pengamanan di Laut China Selatan.
c)      Menyusun Rules of Engagement sebagai pedoman bagi KRI atau kapal pemerintah lainnya untuk dapat melakukan penindakan secara tegas terhadap pelanggaran wilayah yang terjadi di Laut China Selatan.
d)      Meningkatkan latihan pelaksanaan kegiatan latihan khususnya latihan gabungan matra atau latihan bersama dengan negara lain dan diekspose melalui media sehingga menunjukkan kesiapan TNI AL dalam menghadapi kontijensi.

2)      Meningkatkan intensitas kehadiran di laut dalam bentuk operasi sepanjang hari dengan meningkatkan kemampuan dukungan unsur gelar. Implementasi strategi diatas dapat dilakukan melalui upaya-upaya sebagai berikut:
a)      Peningkatan kemampuan dan fungsi pangkalan-pangkalan yang berhadapan dengan Laut Natuna atau Laut Cina Selatan seperti di Ranai, Tarempa, Pontianak, dan Tanjung Uban.
b)      Melakukan efisiensi dan efektifitas operasi melalui implementasi pola operasi yang optimal dengan memanfaatkan informasi intelijen maritim atau penggunaan kecepatan ekonomis untuk menghemat logistik.
c)      Menambah jumlah unsur yang patroli di Laut China Selatan dengan konsep operasi 50% standby 50% sehingga kehadiran di laut dapat dipertahankan semaksimal mungkin.
d)      Meningkatkan operasionalisasi kapal-kapal yang mendukung daya tahan operasi atau endurance KRI dilaut seperti kapal bengkel/spare, kapal BCM dan kapal logistik lainnya.

4.      RESUME DAN SARAN
a.      Resume
1)      Laut China Selatan merupakan wilayah perairan yang sangat strategis dan penting bagi kepentingan nasional negara-negara pantai dan negara pengguna lainnya. Kondisi ini berdampak pada dinamika lingkungan strategis karena pertemuan berbagai kepentingan tersebut terkait dengan klaim hak berdaulat atas wilayah perairan yang memiliki nilai strategis tinggi sebagai SLOC/SLOT penting dunia dan ketersediaan sumber daya alam hayati dan non hayati yang melimpah.
2)      Negara-negara yang terlibat sengketa kepemilikan melibatkan negara-negara ASEAN dan non-ASEAN. Negara ASEAN antara lain Malaysia, Brunei, Filipina, Vietnam, sedangkan negara non-ASEAN yaitu China dan Taiwan. Sampai saat ini telah terjadi beberapa kali insiden parsial yang mendorong peningkatan ketegangan di Laut China Selatan antara negara-negara sengketa. Kondisi demikian ini dapat menjadi pemicu terjadinya konflik terbuka yang sangat berpotensi terjadi spill over dan berdampak pada integritas dan kedaulatan Indonesia.
3)      China yang pada awalnya tidak mengakui adanya masalah perbatasan dengan Indonesia, dengan kejadian tindakan suasi kapal coasguard China terhadap KRI Imam Bonjol pada tanggal ..pada akhirnya mengeluarkan pernyataan bahwa ada permasalahan klaim di Laut China Selatan dengan Indonesia.
4)      Langkah yang perlu diambil Indonesia berdasarkan pendekatan teori kalkulus diplomacy coercive memberikan rekomendasi untuk mengimplementasikan pendekatan diplomasi yang lebih lunak atau masuk dalam kategori FOLD sampai dengan CALL yang dijabarkan oleh TNI AL dengan strategi peningkatan daya tangkal dan peningkatan intensitas kehadiran di laut.

b.      Saran
1)      Perlu adanya upaya yang sinergis antara TNI AL dengan instansi pemerintah lain selaku stakeholder isu Laut China Selatan seperti Kemenlu, KKP, Kemhan, dan Mabes TNI untuk dapat mengambil langkah strategis diplomasi secara efektif dan efisien. Upaya diplomasi TNI AL harus didukung oleh dukungan pemerintah dan kementrian terkait lainnya.
2)      Perlu adanya peningkatan peran media dalam membangun opini dan citra positif yang dilakukan TNI AL khususnya dan pemerintah pada umumnya sehingga diharapkan akan meningkatkan dukungan sendiri dan melemahkan dukungan pihak sasaran.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tinjauan Serangan Pearl Harbour

Implementasi Pemberdayaan Wilayah Pertahanan laut di Wilayah Kerja koarmabar Guna Mendukung Pertahanan dan Keamanan Nasional Dalam Rangka Mewujudkan Poros Maritim Dunia

Tinjauan Konflik Serbia-Kosovo