Optimalisasi Diplomasi TNI AL Guna Mengantisipasi Konflik LCS
Optimalisasi Diplomasi TNI AL Guna Mengantisipasi Konflik LCS Dalam Rangka Menegakkan Kedaulatan NKRI
1. LATAR BELAKANG.
Laut China Selatan merupakan salah satu wilayah perairan
yang memiliki nilai strategis dengan luas hingga mencapai 3.500.000 Km2. Secara
morfologi, Laut China Selatan memiliki sejumlah gugusan pulau dan gosong karang
yang berjumlah hingga mencapai 200 gugusan. Sebagian gugusan pulau berada di
bawah laut dan sebagian kecil berada di atas permukaan laut. Nilai strategis
dari Laut China Selatan adalah menjadi bagian dari jalur perdagangan dan
transportasi internasional yang sangat penting bagi masyarakat global. Nilai
perdagangan di jalur Laut China Selatan bisa mencapai 5,3 trilyun dollar/tahun[1].
Demikian juga diperkirakan Laut China Selatan memiliki
cadangan sumber daya alam yang besar, salah satunya adalah cadangan minyak
sebesar 30 miliar metrik ton dan gas sebesar 16 trilyun meter kubik gas.
Pergerakan arus dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia atau sebaliknya
membuat Laut China Selatan memiliki sumber daya perikanan yang sangat melimpah.
Meski belum ada data resmi yang menyatakan potensi sumber daya alam di Laut
China Selatan, kondisi ini tentu menunjukkan betapa pentingnya Laut China
Selatan bagi kepentingan nasional dari berbagai negara.
Nilai strategis yang dimiliki inilah menyebabkan
negara-negara sengketa berpacu meningkatkan kekuatan militer melalui
peningkatan anggaran pertahanan untuk melakukan pembaharuan atau peningkatan
kemampuan tempur dalam rangka mengantisipasi terjadinya konflik terbuka dalam
sengketa di Laut China Selatan.
Setiap pihak yang terlibat maupun tidak terlibat dalam
sengketa Laut China Selatan ini harus mampu menahan diri. Hal ini kerap
disampaikan oleh semua pihak termasuk ASEAN sendiri telah menyusun tata
perilaku yang dirumuskan dalam Code of Conduct dalam pertemuan di Kamboja.
Dengan demikian maka langkah yang saat ini paling efektif dan efisien adalah
melakukan pendekatan-pendekatan diplomasi dalam rangka mencari solusi untuk
memecahkan permasalahan sengketa Laut China Selatan ini.
Indonesia meskipun bukan termasuk negara pengklaim wilayah
di Laut China Selatan telah menyadari potensi terbukanya keterlibatan dalam
sengketa Laut China Selatan ini dimana wilayah klaim dalam nine dashed line
China diketahui memotong atau masuk ke wilayah perairan ZEEI. Beberapa kejadian
tindakan suasi kapal-kapal coastguard China yang mengawal kapal ikan China
terhadap kapal pemerintah termasuk TNI AL menunjukkan bahwa kehadiran kapal
pemerintah dan TNI AL di Laut China Selatan belum memiliki daya tangkal yang
optimal. Oleh sebab itu maka diperlukan adanya optimalisasi diplomasi TNI AL
guna mengantisipasi konflik Laut China Selatan dalam rangka menegakkan
kedaulatan NKRI
2. FAKTA DAN DATA.
Konflik yang terjadi di Laut China Selatan sudah
berlangsung cukup lama. Konflik Laut China Selatan sudah terjadi sejak tahun
1992, dimana pemerintahan China saling tuduh dengan pemerintah Vietnam atas hak
pengemboran di Pulau hainan. Berbagai perjanjian dan diplomasi antar
negara-negara di sekitar Laut China Selatan dilakukan demi meredam
ketegangan.Konflik yang terjadi di Laut China Selatan merupakan upaya negara
melakukan pertahanan wilayah dan kedaulatan. Klaim batasan wilayah, pulau dan
gugusan pulau yang ada di Laut China Selatan menjadi pemicu konflik antara
negara. Berikut adalah tabel klaim negara-negara terhadap Laut China Selatan (Kresno
Buntoro dalam Indonesia, ASEAN dan LCS, 2011).
Negara
|
Klaim Wilayah
|
Brunei
|
Pemerintah
Brunei tidak mengklaim pulau yang ada di LCS, tetapi Brunei mengklaim ZEE dan
landas kontinen yang ditarik dari wilayah Pantai Brunei. Tahun 1984, Brunei
mendeklarasikan ZEE yang meliputi Louisa Reef.
|
China
|
Pemerintah
China mengklaim semua pulau yang ada di LCS. Klaim tersebut berdasarkan
alasan historis sejak Dinasti Han (110 AD) dan Ming (1403-1433 AD). Garis
batas klaimnya tidak dalam bentuk koordinat sehingga tidak jelas. Pada abad
19 dan awal abad 20, China menyatakan klaimnya terhadap Spratly dan Paracel.
Pada perang dunia ke dua wilayah itu diklaim oleh Jepang. Pada tahun 1947
China mempublikasikan peta dengan 9 garis sebagai wilayahnya. Pada tahun 1992
hukum China menegaskan klaimnya. Pada tahun 1974, China menguasai kepulauan
Paracel dari Vietnam.
|
Indonesia
|
Pemerintah
Indonesia tidak mengklaim LCS, tetapi wilayah ZEE dan landas kontinen
Indonesia (termasuk lapangan minyak dan gas natuna) akan terpengaruh terhadap
klaim-klaim yang dilakukan negara lain. Bahkan ada yang mencoba memasukkan
Natuna dalam wilayah klaim sehingga memaksa Indonesia untuk ikut dalam
konflik LCS.
|
Malaysia
|
Klaim kepulauan Spratly didasarkan
pada prinsip landas kontinen dan batas klaimnya dalam bentuk koordinat
geografis. Malaysia sudah menguasai 3 pulau dan itu berada di landas
kontinennya. Malaysia sudah membangun atau melakukan reklamasi terhadap salah
satu attol sebagai hotel.
|
Filipina
|
Pemerintah Filipina mengklaim
kepulauan Spratly didasarkan pada prinsip proximity serta penjelajahan prang
Filipina. Batas klaimnya dalam bentuk koordinat geografis. Pada tahun 1971,
Filipina secara resmi mengklaim 8 pulau yang dikenal sebagai Kalayaan sebagai
bagian dari Provinsi Palawan.
|
Taiwan
|
Klaim Taiwan sama seperti China.
Taiwan menguasai Pulau Pratas di Spratly.
|
Vietnam
|
Klaim di dasarkan pada prinsip
landas kontinen dan meliputi seluruh Spratly termasuk seluruh LCS. Batas
klaim tidak tercantum secara jelas. Vietnam juga mengklaim kepulauan Paracel,
walaupun direbut China pada tahun 1974.
|
Saling klaim terkait batas wilayan dan pulau yang ada di
Laut China Selatan, memicu ketegangan antara negara. Masing-masing pihak
berdasarkan klaim sejarah, prinsip hukum internasional dan perjanjian, merasa
paling berhak atas sumber daya alam yang ada di Laut China Selatan. Ketegangan
antar negara-negara yang bersengketa membuat situasi sengketa mengarah pada
kekuatan militer. Jika sengketa ini berdampak pada ketegangan militer, tidak
dapat dipungkiri stabilitas ekonomi negara-negara yang bersentuhan langsung
dengan jalur pelayaran di Laut China Selatan akan terganggu.
Sengketa teritorial di Laut China Selatan tidak hanya membahas
masalah kedaulatan atas pulau-pulau, tetapi bercampur dengan masalah hak
kedaulatan atas landas kontinen dan ZEE. Sengketa teritorial Laut China Selatan
memiliki sejarah yang panjang dan melibatkan banyak negara. Tidak sedikit
sengketa Laut China Selatan yang berujung pada bentrok kekuatan militer
negara-negara yang bersengketa meski pada tingkat yang masih sangat rendah
antar unit-unit militer di laut. Penggunaan kekuatan militer untuk
menyelesaikan sengketa Laut China Selatan harus dihindari terlebih dahulu.
Berbagai pihak harus bisa menahan diri dalam penggunaan kekuatan militernya,
termasuk dalam berbagai aktifitas ekonomi seperti eksplorasi dan eksploitasi
sumber daya alam untuk sementara waktu.
Indonesia sendiri meskipun tidak memiliki persinggungan di
perairan teritorial dengan nine dash line yang digambarkan oleh China, namun
secara jelas bersinggungan dengan ZEE Indonesia. Persinggungan secara terbuka
telah beberapa kali terjadi antara Indonesia dengan China. Insiden terakhir
pada tanggal 17 Juni 2016, saat itu KRI Imam Bonjol menangkap kapal nelayan
China KM Han tan Cou yang dibayangi oleh kapal
penjaga pantai China. Pejabat tingkat tinggi China pada awalnya tidak
mengakui adanya overlapping claim dan mengakui Natuna milik Indonesia, namun
dengan kejadian ini tiba-tiba berubah dan Menlu China melalui juru bicaranya
mengatakan antara Indonesia dan China ada overlapping claim[2].
Pernyataan ini tentu memiliki makna yang sangat penting
terhadap potensi sengketa di Laut Natuna dimasa mendatang. Upaya-upaya
perlindungan terhadap kapal nelayan China oleh kapal coastguard China
menunjukkan belum adanya daya gentar dalam penegakkan hukum khususnya di laut.
Beberapa kejadian intimidasi terhadap kapal KKP oleh kapal coastguard China
memang masih dalam kerangka konflik perikanan dan belum konflik kedaulatan
sebagaimana diuraikan oleh Laksamana TNI Ade Supandi menanggapi kejadian
intimidasi terhadap kapal KKP yang mencoba menangkap kapal nelayan Kway Fey
10078 sehingga belum dilakukan peningkatan jumlah KRI yang beroperasi di
wilayah Natuna dan Laut China Selatan. Meski demikian TNI AL akan terus
memantau perkembangan dan penambahan armada TNI AL akan dilakukan berdasarkan
eskalasi ancaman.
Kondisi ini memberikan gambaran sebenarnya bahwa kemampuan
diplomasi TNI AL belum teruji sesungguhnya dalam spill over konflik Laut China
Selatan. Tindakan kapal coastguard China yang mencoba mengintimidasi KRI Imam
Bonjol untuk melepaskan kapal nelayan China tangkapan sebagai bentuk state practice. Pada akhirnya kemudian
kapal coastguard China tersebut menjauh setelah ada perkuatan KRI Teuku Umar
dan KRI Sultan Thaha Syaifudin. Hard
diplomacy telah secara nyata dimainkan di Laut China Selatan dan
menunjukkan hasil positif meskipun bersifat kasus dan lingkup kecil. Tantangan
kedepan adalah terbukanya potensi penggunaan kekuatan dalam jumlah yang lebih
besar sehingga menjadi ujian bagi peran diplomasi TNI AL.
Kondisi yang diharapkan adalah kemampuan TNI AL yang mampu
menciptakan daya tangkal (deterrence)
dengan menunjukkan dampak buruk apabila pihak lain melakukan tindakan
perlawanan. Kondisi ini merupakan bentuk lain dari diplomasi yang memiliki
karakter hard diplomacy dimana
intensi ditunjukkan dengan kekuatan (show
of force). Implementasi unjuk kekuatan ini harus dapat diwujudkan melalui
gelar kekuatan yang efektif dan efisien dimana dengan sumber daya yang relatif
lebih rendah namun mampu menunjukkan intensi secara tegas dan jelas. Pada
umumnya kondisi ini hanya dapat dilakukan melalui kombinasi implementasi dengan
soft diplomacy. Pendekatan yang lebih
komunikatif dan dekat pada dasarnya merupakan media yang tepat untuk
mengimplementasikan soft diplomacy tersebut.
Dalam upaya membangun dan menciptakan kondisi kemampuan
diplomasi TNI AL yang ideal maka terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi
optimalisasi diplomasi yang dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Faktor internal. Merupakan faktor dari dalam TNI AL yang dapat
menjadi kekuatan dan kelemahan dalam optimalisasi diplomasi TNI AL.
1) Rencana peningkatan kualitas dan kuantitas
alutsista.
2) Kebijakan pengembangan kekuatan TNI AL.
3) Strategi penggunaan kekuatan melalui
operasi sepanjang tahun.
4) Kondisi nyata alutsista.
5) Keterbatasan anggaran untuk memenuhi MEF.
6) C4ISR yang belum memadai.
b. Faktor eksternal. Merupakan faktor dari
luar TNI AL yang dapat menjadi peluang dan kendala dalam optimalisasi diplomasi
TNI AL
1) Kebijakan pemerintah yang mendorong
penguatan pada poros ancaman.
2) kepentingan nasional negara-negara pengguna
LCS.
3) Putusan mahkamah arbitrase internasional.
4) Pembangunan kekuatan militer negara-negara
di LCS.
5) Implementasi strategi rebalancing AS.
6) Tindakan asertif china di LCS.
3. ANALISIS DAN PEMBAHASAN.
Menurut Ken Booth, angkatan laut di dunia memainkan 3 peran sentral dan universal yaitu
peran militer, peran penegakan hukum dan peran diplomasi. Salah satu peran yang
penting dan melekat adalah peran diplomasi. Diplomasi banyak didefinisikan
sebagai tindakan suasi melalui upaya menunjukkan niat baik dalam konteks
positif maupun negatif. Hal ini menunjukkan juga bahwa diplomasi ternyata
memiliki makna yang relative mirip dengan kompel, koersion, persuasive atau
disuasif.
Sebagai anggota keluarga penangkalan, diplomasi hanya merupakan
salah satu cara yang dapat diwakilkan kepada salah satu cara yang dapat
diwakilkan kepada salah satu instrument kekuatan militer nasional atau secara
bersama. Selain digunakan bagi kepentingan damai atau mengisyaratkan keinginan
damai, diplomasi bisa juga dilakukan guna kepentingan yang berorientasi (keras)
pada mempengaruhi bahkan memaksakan Negara lain untuk takut atau mengurungkan
niat tidak baiknya. Diplomasi angkatan laut pada umumnya lebih popular disebut
sebagai gun boat diplomacy yang
memiliki konotasi cenderung kearah perilaku yang koersif, meskipun dibawah
bendera angkatan laut pun dapat juga melakukannya dalam varian yang lebih
berorientasi kearah perdamaian atau isyarat keinginan bersahabat seperti
pameran bendera, port visit, latihan bersama, patrol bersama, navy to navy
talk, bangun kapasitas, koalisi, bantuan kemanusiaan, bahkan stabilisasi dan
konstruksi wilayah.
Angkatan laut menjadi alat yang penting dan efisien bagi
kepentingan cooperative diplomacy
bahkan siap menjadi instrumen yang lebih keras sebagai coercive diplomacy. Kemampuan ini disebabkan faktor posisi, ruang
kebebasan bermanuvra, ketahanan lamanya, dan ruang waktu menempatkan pilihan
terbaik. Permasalahan penting yang muncul adalah menentukan penggunaan
diplomasi angkatan laut yang tepat. Penentuan ini dapat dilakukan dengan menggunakan
langkah kalkulus diplomasi koersif[3]
dengan pendekatan faktor-faktor yang memberikan pengaruh terhadap hasil atau
outcome.
a. Kalkulus diplomasi
koersif.
1) Perkiraan tindakan
apabila upaya koersif yang dilakukan gagal “memaksakan” keinginan kepada lawan.
Ada beberapa pilihan apabila ada keinginan untuk terus ”menekan” yaitu melalui
opsi bergabung dengan koalisi, membentuk dan membangun koalisi, atau bertindak
sendiri. Dalam langkah awal ini, terkait dengan konflik Laut China Selatan, dapat
diperkirakan probabilitas tindakan lanjut Indonesia apabila gagal memaksakan
kehendak kepada Negara sasaran maka Indonesia akan mengambil kemungkinan
bergabung dengan koalisi. Saat ini koalisi yang sangat mungkin adalah melalui
ASEAN.
2) Memperhitungkan indeks
kekuatan Negara sasaran dan menentukan kategori Negara sasaran meliputi Negara
kuat global, Negara kuat regional dan Negara lemah. Dengan membandingkan angka
Global Power Indeks, Negara sasaran berada di tiga besar sedangkan Indonesia
berada diperingkat 14. Sehingga dapat dikatakan termasuk KUAT DALAM KONTEKS
GLOBAL dan akan sangat beresiko untuk terlibat konflik secara langsung.
3) Menentukan tingkat
dukungan public, dampak pemberitaan, dukungan instansi pemerintah, dukungan
internal, dan dukungan dari lembaga asimetris. Dengan melihat perkembangan
situasi yang ada saat ini dimana konflik Laut China Selatan seakan merupakan
konflik bersama melawan satu Negara sasaran maka dapat dipastikan DUKUNGAN
POSITIF YANG CUKUP TINGGI ditunjang dengan semangat nasionalisme bangsa.
4) Menentukan
cost-benefit (untung-rugi) dari upaya untuk menjamin kepentingan nasional
sendiri dihadapkan dengan kekuatan Negara sasaran. Hasil penentuan
diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kondisi yaitu merah, kuning dan hijau. Dengan
melihat kondisi Negara sasaran yang masuk dalam kategori Negara kuat,
dihadapkan dengan kondisi upaya yang mungkin dilakukan Indonesia relatif tidak
besar karena berbagai pertimbangan seperti anggaran dan ketersediaan sumber
daya pendukung lainnya, maka kemungkinan cost-benefit berada pada klasifikasi
YELLOW sampai RED.
5) Menentukan tingkatan
eskalasi yang mungkin terjadi akibat langkah koersif yang diambil. Dengan
mengamati nasionalisme, tindakan asertif, dan state practice yang dilakukan
Negara sasaran. Maka dapat disimpulkan bahwa Negara sasaran MEMILIKI POTENSI
TINGGI UNTUK MENDORONG TINGKAT ESKALASI SEGERA MENGALAMI PENINGKATAN.
6) Membandingkan
kesetimbangan adanya tingkat dukungan dan tingkat eskalasi. Hasil penentuan
diklasifikasikan dalam 2 (dua) kondisi yaitu sesuai harapan dan tidak sesuai
harapan. Dengan membandingkan potensi tingkat dukungan dan tingkat eskalasi
dimana tingkat eskalasi sangat dimungkinkan lebih tinggi sedikit dari tingkat
dukungan maka dapat disimpulkan bahwa kondisi kesetimbangan berada pada kondisi
YANG TIDAK DIHARAPKAN.
7) Menentukan matriks
dengan membandingkan cost-benefit, dan uji kesetimbangan, antara tingkat
dukungan dan tingkat eskalasi. Dengan melihat posisi cost-benefit yang berada
pada area YELLOW dan RED dihadapkan dengan uji kesetimbangan berada pada
kondisi YANG TIDAK DIHARAPKAN maka tindakan koersif yang mungkin dilakukan
dalam kategori FOLD atau CALL.
Dari hasil analisis melalu proses kalkulus
diplomasi koersif diatas maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan diplomasi yang
dilakukan Indonesia terhadap konflik di LCS adalah dalam kategori berkisar FOLD
atau maksimum CALL.
KATEGOR TINDAKAN
|
||
FOLD
|
CALL
|
RAISE
|
Melakukan
protes
|
mengancam
secara implisit
|
Mengancam
secara terbuka
|
Sanksi
|
“coba-coba”
|
Melakukan
blokade
|
Pemutusan
hubungan
|
mensiagakan
kekuatan militer
|
Berniat
perang
|
Bersikap
membingungkan
|
embargo
|
Penggelaran
kekuatan tempur
|
Meredakan
ketegangan
|
unjuk
kekuatan
|
|
Mengajak
pihak lain untuk melakukan koersi
|
sikap ambigu
dalam konteks strategis
|
b. Strategi dan upaya
Dari hasil analisis kalkulus diplomasi koersif
dapat dipastikan bahwa tindakan koersif yang melibatkan TNI AL dilakukan secara
tidak berlebihan dan membabi buta. Upaya yang dilakukan adalah tetap mendorong
upaya penyelesaian secara damai dan menekan insiden yang terjadi hanya pada
tataran taktis dan tidak meluas. Dari bentuk-bentuk FOLD dan CALL ini yang
mungkin dilakukan oleh TNI AL adalah mendukung kegiatan-kegiatan mensiagakan
kekuatan dan unjuk kekuatan terbatas.
Dalam konteks permasalahan optimalisasi di atas
maka TNI AL dapat memaksimalkan peran diplomasinya melalui kegiatan siaga
kekuatan dan unjuk kekuatan terbatas dengan melakukan berbagai optimalisasi
dari sumber daya-sumber daya yang dimiliki. Dengan demikian maka diperlukan
implementasi kebijakan optimalisasi diplomasi yang dijabarkan dalam strategi
optimalisasi diplomasi yang disusun dengan mempertimbangkan faktor kekuatan,
kelemahan, peluang dan kendala yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Mendorong peningkatan
daya tangkal di Laut Cina Selatan dengan meningkatkan elemen-elemen penangkalan
meliputi kapabilitas, kredibilitas dan komunikasi. Upaya yang dilakukan untuk
dapat mengimplementasikan strategi ini adalah sebagai berikut :
a) Men”deploy” kapal
perang jenis frigate atau korvet yang memiliki daya tangkal relative tinggi
atau KRI lain dalam gugus tugas (dua atau lebih unsur secara bersamaan).
b) Meningkatkan kemampuan
tempur atau combat capability melalui peningkatan kemampuan sewaco KRI yang
diproyeksikan akan melakukan tugas pengamanan di Laut China Selatan.
c) Menyusun Rules of
Engagement sebagai pedoman bagi KRI atau kapal pemerintah lainnya untuk dapat
melakukan penindakan secara tegas terhadap pelanggaran wilayah yang terjadi di
Laut China Selatan.
d) Meningkatkan latihan
pelaksanaan kegiatan latihan khususnya latihan gabungan matra atau latihan
bersama dengan negara lain dan diekspose melalui media sehingga menunjukkan
kesiapan TNI AL dalam menghadapi kontijensi.
2) Meningkatkan
intensitas kehadiran di laut dalam bentuk operasi sepanjang hari dengan
meningkatkan kemampuan dukungan unsur gelar. Implementasi strategi diatas dapat
dilakukan melalui upaya-upaya sebagai berikut:
a) Peningkatan kemampuan
dan fungsi pangkalan-pangkalan yang berhadapan dengan Laut Natuna atau Laut
Cina Selatan seperti di Ranai, Tarempa, Pontianak, dan Tanjung Uban.
b) Melakukan efisiensi
dan efektifitas operasi melalui implementasi pola operasi yang optimal dengan
memanfaatkan informasi intelijen maritim atau penggunaan kecepatan ekonomis untuk
menghemat logistik.
c) Menambah jumlah unsur
yang patroli di Laut China Selatan dengan konsep operasi 50% standby 50%
sehingga kehadiran di laut dapat dipertahankan semaksimal mungkin.
d) Meningkatkan
operasionalisasi kapal-kapal yang mendukung daya tahan operasi atau endurance
KRI dilaut seperti kapal bengkel/spare, kapal BCM dan kapal logistik lainnya.
4. RESUME DAN SARAN
a. Resume
1) Laut China Selatan
merupakan wilayah perairan yang sangat strategis dan penting bagi kepentingan
nasional negara-negara pantai dan negara pengguna lainnya. Kondisi ini
berdampak pada dinamika lingkungan strategis karena pertemuan berbagai
kepentingan tersebut terkait dengan klaim hak berdaulat atas wilayah perairan
yang memiliki nilai strategis tinggi sebagai SLOC/SLOT penting dunia dan
ketersediaan sumber daya alam hayati dan non hayati yang melimpah.
2) Negara-negara yang
terlibat sengketa kepemilikan melibatkan negara-negara ASEAN dan non-ASEAN.
Negara ASEAN antara lain Malaysia, Brunei, Filipina, Vietnam, sedangkan negara
non-ASEAN yaitu China dan Taiwan. Sampai saat ini telah terjadi beberapa kali
insiden parsial yang mendorong peningkatan ketegangan di Laut China Selatan
antara negara-negara sengketa. Kondisi demikian ini dapat menjadi pemicu
terjadinya konflik terbuka yang sangat berpotensi terjadi spill over dan berdampak pada integritas dan kedaulatan Indonesia.
3) China yang pada
awalnya tidak mengakui adanya masalah perbatasan dengan Indonesia, dengan
kejadian tindakan suasi kapal coasguard China terhadap KRI Imam Bonjol pada
tanggal ..pada akhirnya mengeluarkan pernyataan bahwa ada permasalahan klaim di
Laut China Selatan dengan Indonesia.
4) Langkah yang perlu
diambil Indonesia berdasarkan pendekatan teori kalkulus diplomacy coercive
memberikan rekomendasi untuk mengimplementasikan pendekatan diplomasi yang
lebih lunak atau masuk dalam kategori FOLD sampai dengan CALL yang dijabarkan
oleh TNI AL dengan strategi peningkatan daya tangkal dan peningkatan intensitas
kehadiran di laut.
b. Saran
1) Perlu adanya upaya
yang sinergis antara TNI AL dengan instansi pemerintah lain selaku stakeholder
isu Laut China Selatan seperti Kemenlu, KKP, Kemhan, dan Mabes TNI untuk dapat
mengambil langkah strategis diplomasi secara efektif dan efisien. Upaya diplomasi
TNI AL harus didukung oleh dukungan pemerintah dan kementrian terkait lainnya.
2) Perlu adanya
peningkatan peran media dalam membangun opini dan citra positif yang dilakukan
TNI AL khususnya dan pemerintah pada umumnya sehingga diharapkan akan meningkatkan
dukungan sendiri dan melemahkan dukungan pihak sasaran.
[1] http://jurnalmaritim.com/2016/11/nilai-seaborne-trade-laut-china-selatan-capai-53-t-dolar-as-per-tahun/ diakses tanggal 10 Desember
2016 pukul 12.35 WIB.
[2] (http://www.mediapribumi.com/2016/06/kapal-nelayan-cina-masuk-zee-ri-itu.html diakses tanggal 31 Januari 2017 pukul 09.28 WIB).
[3] http://www.fkpmaritim.org/diplomasi-angkatan-laut-dan-kalkulus-pilihan/ diakses pada
tanggal 31 Januari 2017 pukul 16.45 WIB
Komentar
Posting Komentar