Optimalisasi Gelar Kekuatan Koarmabar Guna Melaksanakan Tugas-Tugas TNI AL Dalam Rangka Mengantisipasi Konflik di Laut Cina Selatan.


1.      PENDAHULUAN
Laut Cina Selatan merupakan salah satu wilayah perairan dunia yang secara geopolitik sangat strategis karena merupakan SLOC/SLOT penting di dunia[1]. Laut Cina Selatan menghubungkan Samudera Hindia melalui Selat Malaka dan Selat Sunda, dengan Samudera Pasifik melalui Laut Cina Timur. Laut Cina Selatan juga secara geografis menjadi tempat pertemuan arus sehingga memiliki potensi perikanan yang tinggi. Demikian juga Laut Cina Selatan merupakan paparan atau bentang benua yang memiliki potensi kandungan gas alam dan minyak bumi yang tinggi. Nilai strategis Laut Cina Selatan ini tentu saja pada satu sisi merupakan peluang bagi kepentingan nasional negara-negara pantai secara khusus dan umat manusia pada umumnya, disisi lain sangat berpotensi untuk timbulnya konflik kepentingan seperti yang telah terjadi saat ini. Perkembangan hukum laut telah meningkatkan potensi friksi dimana negara-negara pantai di Laut Cina Selatan pun saling mengklaim rezim-rezim sesuai UNCLOS. Data tangkapan KIA dan insiden saling shadowing dan klaim antar Indonesia dan kapal pemerintah Cina pada tahun 2016 dan Vietnam pada bulam Mei - Juni 2017 membuktikan adanya ancaman yang sangat potensial tersebut di wilayah Laut Cina Selatan.
TNI AL selaku komponen utama pertahanan negara di laut, memiliki tugas sebagaimana diamanatkan pada pasal 9 UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI yang memberikan tugas kepada TNI AL untuk melaksanakan pertahanan negara, penegakan hukum dan kedaulatan di wilayah yurisdiksi nasional, menyelenggarakan diplomasi angkatan laut untuk dukung kebijakan politik luar negeri, melaksanakan pembangunan kekuatan dan kemampuan matra laut, dan memberdayakan wilayah pertahanan laut[2]. Koarmabar selaku kotama operasi TNI AL memiliki tugas-tugas operasi dan tugas-tugas pembinaan sebagai wujud pelaksanaan tugas TNI AL tersebut. Tugas operasi meliputi penyelenggaraan operasi intelijen maritim untuk mendukung operasi laut, penyelenggaraan operasi militer untuk perang baik gabungan maupun mandiri, dan penyelenggaraan operasi militer selain perang berupa operasi laut sehari-hari maupun operasi keamanan laut.
Perwujudan dari pelaksanaan tugas-tugas Koarmabar tersebut adalah penggelaran kekuatan yang disusun dalam gelar penindakan (deployment) dan gelar permanen (employment). Gelar penindakan adalah pengerahan kekuatan pada ruang dan waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan untuk mendapatkan keuntungan strategis, sedangkan  gelar permanen adalah pengerahan kekuatan pada ruang dan waktu yang tetap/sepanjang waktu dalam rangka penguasaan dan pengendalian. Aplikasi dari gelar penindakan adalah penyelenggaraan operasi siaga tempur laut, operasi keamanan laut, operasi pengamanan ALKI, dan Operasi Patroli Terkoordinasi. Sedangkan aplikasi dari gelar permanen adalah penempatan pangkalan-pangkalan yang melaksanakan dukungan logistik dan operasi keamanan laut terbatas.
Dalam rangka menghadapi potensi konflik di wilayah perairan Laut Cina Selatan, TNI AL sebagai komponen utama pertahanan negara di laut, menugaskan kepada Koarmabar selaku Kotama Operasi untuk menyiapkan dan mensiagakan kekuatan untuk dapat digelar dalam rangka mengendalikan dampak-dampak buruk yang potensial dari setiap tingkatan eskalasi. Gelar kekuatan ini tidak terlepas dari penggunaan seluruh elemen kekuatan yang disusun dalam konsep Sistem Senjata Armada Terpadu (SSAT). Kondisi nyata alutsista dalam SSAT dihadapkan dengan luas coverage, daya dukung logistik, dan besaran potensial ancaman, perlu dioptimalkan penggelarannya dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi, baik faktor pendukung yang mencakup kekuatan dan peluang, juga faktor penghambar yang mencakup kelemahan dan ancaman.

2.      LANDASAN PEMIKIRAN
Landasan pemikiran merupakan prinsip-prinsip yang mendasari setiap upaya yang direncanakan dan disusun untuk mewujudkan optimalisasi tugas-tugas Koarmabar dalam mengimplementasikan SPLN agar dapat mengantisipasi konflik di Laut Cina Selatan. Prinsip-prinsip itu sendiri terdiri atas landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan teoritir. Landasan filosofis adalah landasan pokok yang berdasarkan filsafat yang menyeluruh dan konseptual dan menghasilkan konsepsi-konsepsi kehidupan termasuk negara. Landasan yuridis adalah seperangkat konsep peraturan perundangan yang menjadi acuan atau titik tolak dalam optimalisasi tugas-tugas Koarmabar. Dan landasan teoritis adalah rujukan teori yang relevan untuk menjelaskan tentang optimalisasi tugas-tugas Koarmabar.
a.      Landasan Filosofis. Landasan filsafat yang sangat penting adalah Pancasila dan Wawasan Nusantara. Pancasila sangat jelas merupakan dasar utama dalam setiap aktifitas kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam upaya mengoptimalkan tugas-tugas Koarmabar, harus didasarkan pada filsafat dasar dari setiap sila dalam pancasila. Pancasila juga melandasi cara pandang bangsa dalam memandang negara kepulauan sebagai satu kesatuan yang dikenal dengan istilah wawasan nusantara. Wawasan ini memandang Indonesia sebagai satu keutuhan yang tidak terpisahkan dan menjadi dasar filosofis dalam upaya mempertahankan keutuhan negara kesatuan.
b.      Landasan Yuridis. Landasan yuridis yang sangat penting adalah UUD Tahun 1945, UU No.3/2002, UU No.34/2004 dan UNCLOS 1982. UUD 1945 melandasi setiap peraturan perundangan khususnya yang berkaitan dengan upaya bela negara. Penjabaran usaha-usaha bela negara dalam bentuk penyusunan sistem pertahanan negara sebagaimana diamanatkan dalam UU No.3 Tahun 2002. Kemudian UU No.34 Tahun 2004 memberi landasan kepada TNI sebagai komponen pokok untuk menyelenggarakan upaya-upaya pertahanan negara. Dan sebagai bangsa yang bermartabat dan hidup bersama dengan bangsa lain didunia, UNCLOS 1982 menjadi peraturan internasional yang sangat penting dalam mendukung kesatuan wilayah dari negara kepulauan seperti Indonesia.
c.       Landasan Teoritis. Landasan teoritis yang penting adalah AT. Mahan, Ken Booth, dan Nye. Mahan mengajukan teori tentang elemen kekuatan maritim yang sangat vital bagi terwujudnya kepentingan nasional suatu bangsa. Sedangkan Ken Booth berbicara tentang peranan angkatan laut yang universal secara khusus dalam konteks hubungan dan politik luar negeri suatu bangsa. dan Nye berbicara tentang implementasi diplomasi sebagai bentuk penyampaian niat atau intensi.

3.      PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS
Konflik yang terjadi di Laut China Selatan sudah berlangsung cukup lama. Konflik Laut China Selatan sudah terjadi sejak tahun 1992, dimana pemerintahan China saling tuduh dengan pemerintah Vietnam atas hak pengemboran di Pulau hainan. Berbagai perjanjian dan diplomasi antar negara-negara di sekitar Laut China Selatan dilakukan demi meredam ketegangan.Konflik yang terjadi di Laut China Selatan merupakan upaya negara melakukan pertahanan wilayah dan kedaulatan. Klaim batasan wilayah, pulau dan gugusan pulau yang ada di Laut China Selatan menjadi pemicu konflik antara negara. Masing-masing pihak berdasarkan klaim sejarah, prinsip hukum internasional dan perjanjian, merasa paling berhak atas sumber daya alam yang ada di Laut China Selatan. Ketegangan antar negara-negara yang bersengketa membuat situasi sengketa mengarah pada kekuatan militer. Jika sengketa ini berdampak pada ketegangan militer, tidak dapat dipungkiri stabilitas ekonomi negara-negara yang bersentuhan langsung dengan jalur pelayaran di Laut China Selatan akan terganggu.
Sengketa teritorial di Laut China Selatan tidak hanya membahas masalah kedaulatan atas pulau-pulau, tetapi bercampur dengan masalah hak kedaulatan atas landas kontinen dan ZEE. Sengketa teritorial Laut China Selatan memiliki sejarah yang panjang dan melibatkan banyak negara. Tidak sedikit sengketa Laut China Selatan yang berujung pada bentrok kekuatan militer negara-negara yang bersengketa meski pada tingkat yang masih sangat rendah antar unit-unit militer di laut. Penggunaan kekuatan militer untuk menyelesaikan sengketa Laut China Selatan harus dihindari terlebih dahulu. Berbagai pihak harus bisa menahan diri dalam penggunaan kekuatan militernya, termasuk dalam berbagai aktifitas ekonomi seperti eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam untuk sementara waktu.
ASEAN memang telah mengalami kemajuan dalam upaya menjamin keamanan di kawasan regional khususnya dengan telah disepakatinya Declaration of the Conduct of Parties in the South Cina Sea (DOC) yang ditandatangani tahun 2011 di Kamboja meskipun tidak mengikat namun telah menunjukkan adanya kesepakatan atau batasan moral dalam menjamin keamanan di Laut Cina Selatan yang dapat dijadikan referensi ketika muncul masalah atau terjadi ketegangan dan juga berperan sebagai dasar untuk negosiasi mengenai penyusunan dokumen Code of Conduct. Saat ini, Cina mengaku telah menyelesaikan draft awal Code of Conduct di Laut Cina Selatan. Penyelesaian ini bersamaan dengan semakin meredanya ketegangan di kawasan sengketa tersebut.
Indonesia sendiri meskipun tidak memiliki persinggungan di perairan teritorial dengan nine dash line yang digambarkan oleh China, namun secara jelas bersinggungan dengan ZEE Indonesia. Persinggungan secara terbuka telah beberapa kali terjadi antara Indonesia dengan China. Ada kekawatiran Cina akan menerapkan klaim zona maritim baru atas pulau-pulau buatan yang dibangunnya. Keputusan Tribunal meskipun tidak menyelesaikan sengketa di Laut Cina Selatan, namun keputusan ini menjadi bentuk konfirmasiatas perdebatan bahwa negara Cina tidak dapat menetapkan zona maritim baru atau mengungkit zona maritim histrois selain yang diatur oleh UNCLOS. Selain itu juga soal status pulau karang yang dikuasai Cina, telah ditetapkan tidak berhak atas 200 mil ZEE, dan hanya sebagian saja yang berhak atas 12 mil, dan selebihnya adalah non hight tide features yang merupakan bagian dari lautan itu sendiri.
Insiden terakhir pada tanggal 17 Juni 2016, saat itu KRI Imam Bonjol menangkap kapal nelayan China KM Han tan Cou yang dibayangi oleh kapal  penjaga pantai China. Pejabat tingkat tinggi China pada awalnya tidak mengakui adanya overlapping claim dan mengakui Natuna milik Indonesia, namun dengan kejadian ini tiba-tiba berubah dan Menlu China melalui juru bicaranya mengatakan antara Indonesia dan China ada overlapping claim[3]. Pernyataan ini tentu memiliki makna yang sangat penting terhadap potensi sengketa di Laut Natuna dimasa mendatang. Namun demikian putusan Tribunal ini menjadi sangat penting bagi Indonesia, yang telah membatalkan nine dashed line sehingga keberadaan garis ini di Perairan Natuna adalah tidak sah. Demikian juga klaim kepemilikan karang Cuarteron yang berjarak 400 Nm dari gugusan pulau Natuna, tidak akan bertetangga dengan Indonesia karena zona maritimnya sangat jauh dari batas terluar ZEE Indonesia.
Selain dengan Cina, Indonesia juga memiliki potensi konflik terkait dengan delimitasi yang belum selesai dengan beberapa negara yang berbatasan di Laut Cina Selatan. Perkembangan hukum laut yang melahirkan rezim perairan baru menyebabkan perubahan wilayah yurisdiksi masing-masing negara pantai. Perubahan ini berkaitan dengan kepentingan nasional masing-masing dan sudah tentu akan saling berbenturan satu dengan yang lain. Salah satu contoh yang sedang meningkat eskalasinya adalah friksi antara Indonesia dengan Vietnam yang terjadi beberapa kali dalam dua bulan terakhir.
Pada awal bulan mei sampai dengan juni telah terjadi insiden saling shadowing dan klaim antara kapal  coast guard Vietnam dengan KRI yang sedang melaksanakan patroli di ZEE Indonesia[4]. Vietnam melandasi klaimnya atas dasar perjanjian landas kontinen yang telah disepakati dengan Indonesia pada tahun 1967. Sementara UNCLOS 1982 membedakan klaim landas kontinen dengan klaim rezim ZEE. Klaim landas kontinen berkaitan dengan sumber daya yang berada dibawah dasar laut sedangkan klaim ZEE berkaitan dengan hak eksporasi dan eksploitasi sumber daya alam yang berada dalam kolom air antara permukaan dan dasar laut.

4.      KONDISI GELAR KEKUATAN KOARMABAR
a.      Kondisi saat ini
Gelar kekuatan sebagai perwujudan dari pelaksanaan tugas-tugas TNI AL dan tugas-tugas Koarmabar melalui penyelenggaraan operasi-operasi laut dan dispersi pangkalan yang didukung dengan operasi intelijen dan operasi serpas/log. Saat ini Koarmabar menyelenggarakan operasi-operasi siaga tempur laut, operasi keamanan laut, operasi pengamanan ALKI, operasi bersama patroli di Selat Malaka, operasi pengamanan perbatasan dalam bentuk patroli terkoordinasi dengan beberapa negara tetangga, dan operasi keamanan laut terbatas yang diselenggarakan oleh pangkalan-pangkalan TNI AL dibawah pembinaan Koarmabar.
Tabel Operasi Gelar Koarmabar Tahun 2017
NO
OPERASI
KEKUATAN
WILAYAH
KET
1.
Siaga Tempur Laut
5 KRI (1PKR,1PK,1KCR/KCT,1AT,1 FPB),1Pesud Patmar,1Heli BO,1 Tim Paska,1 Ton Marinir
wilayah perbatasan
180 Hari
2.
Kamla
6 KRI (1PK,1AT,1KCR,3PC),1 Pesud Patmar
Seluruh wilayah kerja Koarmabar
300 Hari
3.
ALKI-1
4 KRI (1PK,1KCR,1FPB,1PC), 1 Pesud Patmar
wilayah perairan ALKI-1
300 Hari
4.
MSSP
7 KRI (1PK,1AT,1FPB,1KCR,1PR,2 PC), 1CASA
Selat Malaka
300 Hari
5.
RI-Singapura
4 KRI(1PR,1KCR 60,1KCR 40,1PC)
Selat Singapura
120 Hari
6.
Patkor Malindo
2 KRI (1KCR40/60,1PC)
Selat Malaka
60 Hari
7.
Patkor Indindo
1 PK,1Pesud Patmar
Laut Andaman
60 Hari
8.
Optima Malindo
3 PC
Selat Malaka
60 Hari
9.
RI Thailand
2 KRI (1KCR40,1PR)
Selat Malaka bagian utara
30 Hari
10.
Rakata Jaya
5 KRI (1LPD,1PK,1FPB,1AT,1 PC)
Seluruh wilayah kerja Koarmabar
365 Hari
11.
WFQR
Tim Intel, Satkamla Lantamal dan satuan gelar
Seluruh wilayah kerja Koarmabar
365 Hari
Sumber : Data Sops Koarmabar, 2017

Penggelaran satuan dan pangkalan-pangkalan TNI AL (Lanal) telah dilakukan di seluruh wilayah kerja Koarmabar. Satuan Kapal Patroli (Satrol) di Belawan, Satuan Kapal Cepat (Satkat) dan Satuan Kapal Ranjau (Satran) di Tanjung Uban, dan Satuan Kapal Eskorta (Satkor), Satuan Kapal Amfibi (Satfib), dan Satuan Kapal Bantu (Satban) di Jakarta. Satuan-satuan ini memiliki tugas untuk melaksanakan pembinaan opslat, material dan personel KRI di jajaran Koarmabar. Saat ini Koarmabar telah memiliki 5 Pangkalan Utama TNI AL yaitu Lantamal I Belawan, Lantamal II Padang, Lantamal III Jakarta, Lantamal IV Tanjung Pinang, dan Lantamal XII Pontianak, yang membawahi 19 pangkalan-pangkalan TNI AL (Lanal), 3 Lanal kerangka, 4 Fasharkan, dan 94 Pos TNI AL (Posal). Pangkalan-pangkalan ini melaksanakan fungsi-fungsi dalam rangka memberikan dukungan bagi satuan operasi KRI, Pesud, dan Marinir.
Kondisi gelar kekuatan koarmabar saat ini masih dirasakan belum optimal, hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator sebagai berikut :
1)      Rata-rata persentase jam layar KRI yang masih dibawah 50% menunjukkan bahwa waktu operasi didominasi dengan lego jangkar atau sandar di pangkalan, sehingga menunjukkan rendahnya kehadiran di sektor operasi.
2)      Perbandingan rencana dan realisasi dari Jam Olah Gerak dan Jam Olah Putar (JOP/JOG) menunjukkan kapabilitas olah gerak KRI yang kenyataannya lebih rendah dari yang direncanakan.
3)      Keterbatasan personel pada tataran perwira pengawak KRI yang ditunjukkan dengan tidak terpenuhinya DSP personel khususnya perwira korps pelaut.
4)      Masih tingginya tangkapan KIA khususnya di wilayah perairan ZEEI Natuna yang menunjukkan belum ada daya tangkal atau efek penggentar dari operasi yang digelar oleh Koarmabar.
5)      Kemampuan dukungan pangkalan masih terbatas, baik terkait dengan faslabuh, fasbek, faswatpers, dan fasharkan. Indikasinya adalah tidak semua lanal memiliki sarana dan prasarana dukungan tersebut.
6)      Kondisi teknis dan sewaco KRI yang masih terbatas, dapat dilihat dari tidak adanya sistem integrasi sewaco yang berfungsi optimal, dan masih sering terjadinya kerusakan-kerusakan dalam pelaksanaan tugas di laut.
7)      Operasi intelijen maritim masih terbatas karena keterbatasan sarana deteksi sehingga aplikasinya masih sebatas di pesisir pantai, penggunaan sarana pengumpulan informasi lainnya belum tersedia,
Indikator sebagaimana diuraikan diatas disebabkan oleh beberapa permasalahan sebagai berikut:
1)      Masih rendahnya kualitas dan kuantitas SSAT yang digunakan dalam penyelenggaraan penggelaran kekuatan.
2)      Masih rendahnya efek penggentar atau daya tangkal satuan operasi dalam melaksanakan tugas penegakan hukum dan kedaulatan di wilayah perairan.
3)      Masih rendahnya intensitas information sharing antar pemangku kepentingan penegakan hukum dan kedaulatan negara di laut.
Implikasi dari permasalahan yang timbul adalah tidak optimalnya penggelaran atau penggunaan kekuatan Koarmabar sehingga pelaksanaan tugas-tugas TNI AL tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Tugas-tugas yang tidak dapat dilaksanakan tersebut akan berdampak pada kesulitan untuk menghadapi potensi dan dinamika konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan.
b.      Kondisi yang diharapkan
Gelar kekuatan Koarmabar yang diharapkan adalah mampu mengantisipasi setiap kerawanan dan ancaman yang timbul setiap saat, termasuk yang potensial terjadi di Laut Cina Selatan. Untuk dapat mewujudkannya, maka pola gelar harus dapat direncanakan sedemikian rupa sehingga satuan operasi yang bertugas berada dekat dengan potensi trouble spot. Dengan demikian maka kesiapan dan kesiapsiagaan unsur Koarmabar harus senantiasa berada pada kondisi optimal.
Kesiapan berkaitan dengan kondisi awal untuk menghadapi peningkatan eskalasi ancaman, artinya sebelum melaksanakan tugas operasi, satuan operasi Koarmabar harus memiliki kondisi teknis, sistem senjata, profesionalisme, dan komando kendali yang optimal. Kondisi optimal aspek teknis adalah keandalan dari permesinan dan bangunan kapal serta sistem penggerak dari kapal, kondisi optimal sistem senjata adalah keandalan sistem kendali senjata dan ketersediaan amunisi, kondisi optimal profesionalisme adalah kemampuan operasional sistem dan mentalitas prajurit, dan kondisi komando kendali adalah kecepatan pertukaran informasi gambaran taktis dan direktif.
Kesiapsiagaan berkaitan dengan kemampuan satuan operasi untuk mengantisipasi kondisi peningkatan eskalasi ancaman, artinya bahwa satuan operasi harus selalu berada pada lokasi potensial yang terdekat, kecepatan reaksi yang tinggi, bergerak dalam gugus tugas, monitoring situasi di lapangan, memiliki sistem dukungan operasi yang optimal. Kedekatan jarak dan kecepatan reaksi berpengaruh kepada kecepatan waktu untuk mengantisipasi, gerakan dalam gugus tugas menunjukkan bahwa satuan operasi harus lebih dari satu unsur untuk dapat saling mendukung dalam tugas di lapangan, monitoring situasi berkaitan dengan kondisi nyata yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan dan perubahannya, dan sistem dukungan operasi optimal berkaitan dengan kemampuan dukungan logistik operasi maupun dukungan operasi dari satuan samping atau pemangku kepentingan lainnya.
Gelar kekuatan Koarmabar diharapkan mampu beroperasi secara mandiri maupun gabungan. Operasi mandiri dan gabungan sangat membutuhkan keterpaduan dalam komando dan kendali di lingkup gugus tugas. Faktor yang terpenting adalah berkaitan dengan doktrin dan prosedur yang digunakan, sistem monitoring atau penggambaran taktis, dan sistem perhubungan antar satuan dan komando kendalinya. Doktrin dan prosedur satuan operasi matra maupun gabungan harus matang didalam benak setiap prajurit sehingga latihan-latihan harus dilaksanakan secara bertingkat dan berlanjut. Sistem monitoring dan perhubungan membutuhkan dengan sistem C4ISR yang handal. Seiring dengan perkembangan teknologi semakin meningkat kapabilitasnya dalam mendukung pelaksanaan tugas operasi satuan di lapangan.
Gelar Kekuatan Koarmabar juga hendaknya dapat memanfaatkan sumber daya nasional yang ada di wilayah operasinya agar dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi operasi. Koarmabar hanya salah satu komponen pertahanan negara yang merupakan bagian dari elemen bangsa. Koarmabar tentu tidak dapat bekerja sendiri dalam melaksanakan tugasnya. Selain membutuhkan satuan samping dalam pelaksanaan tugas operasi, seperti dukungan payung udara dari TNI AU, dan pertahanan pangkalan dari TNI AD, Koarmabar juga membutuhkan dukungan dari komponen cadangan dan komponen pendukung lainnya.
Koarmabar harus mampu mengelola dan memanfaatkan potensi dari komponen cadangan dan komponen pendukung tersebut melalui pemberdayaan masyarakat pesisir dan industri jasa bidang maritim. Pemberdayaan masyarakat pesisir bertujuan untuk mewujudkan konsep sistem pertahanan rakyat semesta. Pelibatan masyarakat pesisir dalam upaya mengoptimalkan tugas operasi dapat dilakukan melalui pembinaan peran tidak saja sebagai pemberi informasi namun juga dalam rangka menunjukkan adanya kegiatan positif masyarakat Natuna dalam mengeksploitasi sumber daya perikanan. Aktifitas di wilayah perairan Natuna yang dikawal oleh kapal-kapal pemerintah termasuk satuan operasi TNI AL akan meningkatkan kredibilitas karena menunjukkan okupasi efektif atas wilayah.
Dalam rangka mendukung pembangunan kekuatan dan peningkatan kesiapan, Koarmabar harus mampu memanfaatkan industri dan jasa maritim dalam pembangunan KRI sesuai dengan kebutuhan operasi dan taktik, termasuk didalamnya mengoptimalkan pemeliharaan dan perbaikan yang dilakukan oleh fasharkan bekerjasama dengan industri jasa maritim yang terkait. Pemberdayaan industri jasa maritim diharapkan dapat meningkatkan juga daya dukung industri jasa maritim itu sendiri dalam pelaksanaan pembangunan maritim pada umumnya dan pelaksanaan tugas-tugas operasi satuan operasi Koarmabar pada umumnya.
Pengembangan pangkalan-pangkalan TNI AL sangat diperlukan untuk meningkatkan daya dukung pelaksanaan tugas operasi satuan operasi Koarmabar di lapangan. Kapabilitas dalam menjalankan peran fasbek, fasharkan, faslabuh, fashwatpers dan pertahanan pangkalan merupakan keniscayaan. Dalam kondisi keterbatasan saat ini, Koarmabar dapat memanfaatkan sumber daya nasional yang ada berupa sarana pelabuhan, depo logistik, dan sistem transportasi nasional yang sudah ada untuk mendukung tugas Koarmabar.
Sarana pelabuhan atau dermaga sandar di Ranai dan Tarempa dapat digunakan untuk KRI yang sedang melaksanakan tugas operasi, sehingga peningkatan kapasitas dan kapabilitasnya akan berpengaruh positif terhadap Koarmabar. Ketersediaan depo logistik cair (BBM dan air tawar) dan pasar-pasar pemerintah daerah sangat dibutuhkan oleh satuan operasi Koarmabar, demikian juga dengan sistem transportasi nasional yang menghubungkan Ranai dan Tarempa dengan wilayah lain akan sangat membantu dalam distribusi suku cadang dan teknisi untuk melaksanakan perawatan dan perbaikan tingkat menengah bagi satuan operasi sehingga dapat memperpanjang waktu kehadiran di wilayah Laut Cina Selatan apabila dibutuhkan sewaktu-waktu.
Kesiapan dan kesiapsiagaan tidak dapat dipisahkan dari peran satuan kapal selaku satuan kerja Koarmabar yang menjalankan tugas dan tanggung jawab pembinaan satuan operasi. Dispersi satuan-satuan kapal yang secara fungsi dapat menjalankan peran sebagai pangkalan induk memiliki nilai strategis tidak saja terkait dengan optimalisasi pembinaan kapal itu sendiri, namun juga dapat berperan dalam mengoptimalkan pemberdayaan sumber daya nasional melalui interaksi dengan pemerintah daerah setempat dan juga industri jasa maritim terkait dengan pembinaan material. Keberadaan satuan kapal juga diharapkan mampu mendukung upaya pembinaan kesiapan prajurit melalui tidak saja latihan-latihan tetapi juga perawatan personel.
Kondisi yang diharapkan tersebut di atas dapat dicapai apabila indikator keberhasilan berikut ini dapat terwujud.
1)      Menurunnya tingkat pelanggaran wilayah oleh KIA maupun aktifitas ilegal melalui laut lainnya yang menunjukkan meningkatnya daya gentar dari TNI AL sebagai komponen utama pertahanan negara di laut.
2)      Meningkatnya persentase kehadiran di laut KRI dan Pesud yang menunjukkan kredibilitas satuan operasi Koarmabar dalam menyelenggarakan pengendalian laut melalui penegakan hukum dan kedaulatan di laut.
3)      Meningkatnya saling percaya dan kesepahaman melalui implementasi Memorandum of Understanding (MOU) antar pemangku kepentingan terkait kerjasama dalam pemeliharaan dan perbaikan, dan pertukaran informasi.
4)      Meningkatnya kemampuan dan firepower atau daya pukul dari KRI dan pesud yang beroperasi di wilayah perbatasan Laut Cina Selatan yang menunjukkan kapabilitas satuan operasi Koarmabar.
5)      Meningkatnya sarana dan prasarana pangkalan TNI AL dan Satuan Kapal Koarmabar yang dapat mendukung satuan operasi Koarmabar dalam melaksanakan tugas yang diberikan.
6)      Meningkatnya intensitas dan kapasitas kerjasama operasi dan latihan seperti patroli koordinasi dengan negara-negara tetangga yang berbatasan menunjukkan efektifitas komunikasi intensi dan atensi Indonesia terhadap kedaulatan wilayah.        
Kontribusi dari pencapaian diatas menunjukkan keberhasilan optimalisasi gelar kekuatan akan mengefektikan dan mengefisienkan pelaksanaan tugas-tugas TNI AL sehingga mampu mengantisipasi dan menghadapi potensi dan dinamika konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan


5.      FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
Dalam upaya mewujudkan optimalisasi gelar kekuatan Koarmabar guna melaksanakan tugas TNI AL dalam rangka mengantisipasi konflik di Laut Cina Selatan, beberapa faktor sangat berpengaruh yang antara lain :
a.          Faktor internal
1)         Kekuatan
a)         Pola operasi merupakan cara atau ways yang efektif dalam mengimplementasikan strategi operasi pengamanan laut dari berbagai bentuk tantangan dan ancaman.
b)         Gelar permanen & dukungan merupakan bentuk pengerahan kekuatan secara permanen atau tetap pada lokasi-lokasi strategis yang berfungsi sebagai dukungan terhadap pelaksanaan gelar dan pola operasi.
c)         Kuasai/Kenal Medan merupakan bentuk keuntungan operasi dan taktis karena dapat dieksploitasi untuk memberikan ruang manuver yang menguntungkan sendiri dan merugikan pihak lawan.
d)         Rencana peningkatan kualitas dan kuantitas alutsista sebagai bagian dari kebijakan pengembangan kekuatan dan kemampuan satuan operasi Koarmabar khususnya.
2)         Kelemahan
a)         Rasio coverage rendah disebabkan oleh jumlah alutsista yang kurang sebanding dengan luas wilayah perairan yang harus dikuasai dan dikendalikan secara penuh bagi kepentingan sendiri dan mencegah keuntungan bagi lawan.
b)         Keterbatasan anggaran yang disebabkan adanya prioritas anggaran untuk kepentingan pembangunan yang holistik dihadapkan dengan kondisi pembangunan ekonomi yang masih terfokus pada upaya meningkatkan daya dukung sosial masyarakat menyebabkan pemenuhan kebutuhan alutsista hanya pada tingkat MEF.
c)         Kemampuan dukungan logistik belum merata disebabkan keterbatasan sarana dan prasarana pelabuhan, alat transportasi atau angkut, jarak dan rute serta kapasitas dan kemampuan dukungan logistik yang tersedia di wilayah.
d)         Kondisi nyata alutsista Koarmabar yang sangat terbatas yang diperburuk dengan belum optimalnya integrated system seperti C4ISR yang sangat diperlukan dalam menghadapi dan merespon setiap bentuk ancaman secara cepat dan tepat.


b.          Faktor eksternal
1)         Peluang
a)         Kerjasama bilateral & regional merupakan salah satu bentuk kondisi yang sangat berpeluang dalam memberikan dukungan dan kerjasama dalam rangka mendorong kepentingan nasional masing-masing yang saling menguntungkan.
b)         Arti strategis Indonesia bagi kepentingan nasional negara lain sebagai dampak dari kondisi geografis membawa pengaruh pada "niat" negara-negara tersebut untuk mendukung terciptanya kondisi yang kondusif di Indonesia demi keamanan kepentingan nasionalnya.
c)         Kebijakan pemerintah untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, dengan salah satu pilarnya adalah meningkatkan kemampuan pertahanan maritim diharapkan akan meningkatkan prioritas pembangunan kekuatan dan kemampuan alutsista TNI AL.
d)         Putusan Tribunal Internasional yang memberikan konfirmasi secara legal tentang tidak berlakunya nine dashed line dan tidak dimungkinkannya Indonesia berbatasan laut dengan Cina sehingga secara praktek, Indonesia memiliki hak yang kuat atas ZEEInya.
2)         Ancaman
a)         Dinamisasi konflik di Laut Cina Selatan telah mendorong negara-negara yang berpotensi terlibat konflik untuk melakukan strategi balancing power dengan melakukan pembangunan kekuatan militer sebagai bagian dari upaya penangkalan.
b)         Cina tidak menerima hasil putusan Tribunal Internasional dan tetap melakukan tindakan asertif china dengan membangun pulau-pulau sebagai pangkalan militer untuk menempatkan kekuatannya dalam rangka menunjukkan eksistensi dan kehadirannya di Laut Cina Selatan.
c)         Implementasi strategi rebalancing AS menunjukkan peningkatan perhatian Amerika terhadap kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara khususnya dalam konflik di Laut Cina Selatan, berpotensi meningkatkan keterlibatan dan menambah kompleks permasalahan.
d)         Negara-negara di kawasan khususnya anggota ASEAN memiliki perbedaan visi terkait permasalahan di Laut Cina Selatan sehingga menghambat upaya kolektif untuk menekan Cina untuk memperhatikan tatalaku di kawasan regional.



6.      PEMBAHASAN
a.      Umum
Poros maritim dunia merupakan kebijakan strategis dari pemerintah yang merupakan implementasi dari keinginan seluruh bangsa terkait dengan posisi geografis Indonesia yang sangat strategis bagi tidak saja kepentingan nasional Indonesia namun juga kepentingan nasional negara-negara dunia pengguna wilayah perairan yurisdiksi nasional Indonesia. Poros maritim dunia memiliki makna yang luas mencakup jaminan konektifitas antar pulau, pengembangan industri perkapalan dan perikanan, perbaikan transportasi laut dan keamanan maritim.
Dalam salah satu konteksnya, yaitu keamanan maritim, secara khusus TNI AL menekankan pada keamanan wilayah perairan khususnya alur laut (ALKI dan selat-selat) dan perbatasan laut dengan negara tetangga. Pengendalian dan penguasaan atas wilayah-wilayah tersebut secara tidak langsung akan meningkatkan efek penggentar. Koarmabar selaku kotama operasi TNI AL memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan pengendalian laut di wilayah kerjanya. Dalam rangka melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya tersebut, Koarmabar melaksanakan penggelaran kekuatan baik dalam bentuk gelar permanen maupun gelar penindakan.
Dengan melihat potensi trouble spot saat ini yang diarahkan pada wilayah perairan ZEEI Natuna yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan, dimana saat ini masih menjadi sengketa antara Cina dan negara-negara pantai lainnya. Selain itu juga proses delimitasi yang masih berjalan antara wilayah yurisdiksi nasional Indonesia dengan negara-negara tetangga yang memiliki perbatasan meningkatkan potensi konflik terbuka yang telah ditunjukkan dengan terjadinya beberapa kali insiden shadowing dan saling klaim antara KRI dan kapal pemerintah termasuk kapal perang negara tetangga sejak tahun 2016 dan meningkat pada bulan mei dan juni 2017 ini.
Dihadapkan dengan berbagai faktor yang mempengaruhi sebagaimana diuraikan diatas maka Koarmabar perlu mengimplementasikan strategi untuk mengoptimalkan penggelaran kekuatan satuan operasinya secara khusus di Laut Cina Selatan dalam rangka mendukung tugas TNI AL sebagai komponen utama pertahanan negara di laut dalam rangka mengantisipasi potensi konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan.
Visi pemerintah ini harus didukung dengan strategi maritim sebagai grand strategi dalam pembangunan nasional Indonesia sebagai negara maritim yang berorientasi pada pemanfaatan dan menjaga laut untuk mensejahterakan rakyatnya. Strategi maritim harus diarahkan pada sasaran (ends) yang meliputi 3 bidang yaitu sumber kehidupan (dari laut), perdagangan (lewat laut), dan kekuatan (di laut). Saat ini secara tegas, Indonesia belum memiliki strategi maritim yang komprehensif. Meskipun demikian TNI AL telah menyusun lebih dulu strategi bidang kekuatan yang dirumuskan dalam Strategi Pertahanan Laut Nusantara.


b.      Analisis Faktor Pengaruh
Dalam menyusun strategi dengan pendekatan strength, Weakness, Opportunity dan Threat, setiap elemen harus dianalisis untuk mengetahui perbandingan relatif baik secara kuantitatif maupun kualitatif antara kekuatan dan kelemahan sebagai faktor internal, dan antara peluang dan ancaman sebagai faktor eksternal. Dalam proses analisis pada tulisan ini, pendekatan kualitatif yang seobyektif mungkin dilakukan. Secara kualitatif, tingkat pengaruhnya ditunjukkan dengan nilai bobot.
Strength
Weakness
Pola operasi
3
Rasio coverage
3
Gelar Permanen
2
Anggaran terbatas
2
Penguasaan medan
1
Duklog terbatas
3
Renbangkuat
1
Konis alutsista
3
Sumber : Pengolahan data sendiri[5]
Pola operasi Koarmabar saat ini dapat dikatakan telah menunjukkan kesiapan dan kesiapsiagaan, dimana satuan operasi telah digelar di sekitar ZEEI Natuna. Gelar permanen saat ini di Natuna dan Tarempa saat ini memang dirasakan sangat penting untuk mendukung gelar operasi di ZEEI Natuna. Penguasaan medan relatif tidak terlalu penting mengingat ZEEI Natuna juga merupakan wilayah terbuka, namun demikian dalam situasi dimana terjadi potensi agresi ke Kepulauan Natuna, maka penguasaan medan harus dioptimalkan untuk menghambat gerakan musuh. Sedangkan perencanaan pembangunan kekuatan meskipun menunjukkan kekuatan dalam jangka panjang namun dalam jangka pendek kurang dapat efektif terhadap pelaksanaan operasi.
Rasion coverage yang rendah sangat berpengaruh terhadap kemampuan dalam menghadapi ancaman yang dapat masuk lewat mana saja di laut. Keterbatasan anggaran sebagai masalah umum namun memiliki potensi untuk dipecahkan secara terbatas. Keterbatasan dukungan logistik sangat berpengaruh terhadap daya tahan laut dari satuan operasi. Sedangkan kondisi alutsista sangat berpotensi menurunkan kesiapan alutsista untuk mengantisipasi peningkatan eskalasi ancaman. Dengan melihat perbandingan antara kekuatan dan kelemahan yang ada sebagaimana diuraikan diatas, maka secara mudah dapat disimpulkan bahwa kelemahan merupakan faktor yang lebih dominan dibandingkan dengan kekuatan.
Opportunity
Threat
Kerjasama LN
3
Bangkuat mil asing
1
Nilai geopol/stra
1
Asertifitas
3
Jakneg Poros Mar
3
Pelibatan neg. asing
1
Putusan tribunal
2
Perbedaan visi Asean
1
Sumber : Pengolahan data sendiri

Kerjasama LN menjadi aspek yang sangat penting karena menunjukkan terbangunnya saling percaya dan potensial menekan konflik. Nilai strategis Indonesia memang menjadi peluang negara asing untuk turut menjaga keamanan di kawasan karena lewatnya kepentingan mereka disana. Kebijakan poros maritim dunia menjadi peluang dalam pembangunan kekuatan dan kemampuan TNI AL karena salah satu pilarnya adalah keamanan maritim. Sedangkan keputusan tribunal memiliki dampak menguatkan intensi Indonesia terhadap eksistensi ZEEI Natuna yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan.
Perkembangan militer asing sebagai sebuah keniscayaan tentu menjadi ancaman bila terjadi konflik namun dampaknya saat damai tidak secara langsung. Asertifitas atau agresifitas merupakan tindakan lawan yang paling  potensial untuk menciptakan konflik secara langsung. Keterlibatan negara asing khususnya yang memiliki kepentingan bisa berpengaruh namun relatif kecil selama negara pantai tetap menunjukkan niat baik untuk menyelesaikan konflik. Sedangkan perbedaan visi negara ASEAN merupakan hal yang wajar karena perbedaan pandangan dan strategi politik luar negeri untuk mengamankan kepentingan nasional masing-masing. Dengan melihat perbandingan peluang dan ancaman sebagaimana diuraikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa peluang yang dimiliki Indonesia lebih dominan dibandingkan ancaman.
c.      Penyusunan Strategi dan Upaya.
Dominasi kelemahan pada faktor internal dan dominasi peluang pada faktor eksternal menyebabkan potensi penyusunan strategi yang bersifat memanfaatkan peluang untuk mengatasi kelemahan. Strategi yang disusun untuk mengoptimalkan gelar kekuatan adalah strategi yang meminimalisir kelemahan penggelaran kekuatan dengan memanfaatkan peluang yang ada.

Peluang
(eksternal, positif)
Ancaman
(eksternal, negatif)
Kekuatan
(internal, positif)
Strategi Kekuatan-Peluang
"Kekuatan penggelaran apa yang dapat digunakan untuk memaksimalkan peluang yang ditemukan"
Strategi Kekuatan-Ancaman
"Bagaimana menggunakan kekuatan dari penggelaran untuk meminimalkan ancaman yang ditemukan"
Kelemahan
(internal, negatif)
Strategi Kelemahan-Peluang
"Tindakan apa yang dapat dilakukan untuk meminimalkan kelemahan penggelaran dengan memanfaatkan peluang yang ditemukan"
Strategi Kelemahan-Ancaman
"Bagaimana meminimalkan kelemahan penggelaran untuk menghindari ancaman yang ditemukan"
Sumber : Pengolahan data sendiri[6]
Dominasi kelemahan pada faktor internal dan dominasi peluang pada faktor eksternal menyebabkan potensi penyusunan strategi yang bersifat memanfaatkan peluang untuk mengatasi kelemahan. Strategi yang disusun untuk mengoptimalkan gelar kekuatan adalah strategi yang meminimalisir kelemahan penggelaran kekuatan dengan memanfaatkan peluang yang ada.
WEAKNESS
VS
OPPORTUNITY
Rasio coverage
Kerjasama LN
Anggaran terbatas
Nilai geopol/stra
Duklog terbatas
Jakneg Poros Mar
Konis alutsista
Putusan tribunal
Sumber : Pengolahan data sendiri
Dengan melihat potensi peluang yang dapat digunakan untuk meminimalisir kelemahan yang dimiliki dalam menggelar kekuatan Koarmabar, maka langkah strategis yang dapat dilakukan oleh Koarmabar adalah mendorong peningkatan kapasitas kerjasama antar angkatan laut, meningkatkan interoperability dengan stakeholder atau komando samping dalam mendukung pelaksanaan tugas operasi Koarmabar, dan meningkatkan penegakan hukum dan kedaulatan sesuai dengan kebijakan pemerintah. Selanjutnya dari setiap langkah strategis tersebut, dijabarkan upaya-upaya sebagai berikut:
1)      Mendorong peningkatan kapasitas kerjasama antar angkatan laut, dengan upaya:
a)      Mendorong prajurit Koarmabar untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya dalam pendidikan luar negeri dalam rangka membangun saling percaya dan networking.
b)      Melakukan evaluasi dan kajian hasil-hasil latihan bersama sebagai pedoman dalam pengembangan kapasitas dan jenis latihan bersama dimasa mendatang.
c)      Mendorong usulan untuk menyelenggarakan patroli terkoordinasi atau latihan bersama dengan negara-negara tetangga yang berbatasan laut dalam rangka membangun saling percaya dan kesepahaman.
d)      Mendorong keterlibatan alutsista dan atau prajurit Koarmabar dalam kegiatan latihan multilateral atau latihan bersama lainnya sebagai bentuk smart diplomacy.
2)      Meningkatkan interoperability dengan pemangku kepentingan atau komando samping dalam mendukung pelaksanaan tugas operasi Koarmabar, dengan upaya:
a)      Menyelenggarakan diskusi informal dengan komando samping dalam rangka membahas permasalahan yang terjadi dan mengeksplorasi pemecahan masalahnya terkait dengan pelaksanaan operasi gabungan.
b)      Mendorong kerjasama atau MoU dengan pemangku kepentingan dalam rangka pertukaran informasi dan integrasi pusat komando dan kendali dalam rangka membangun gambaran taktis real time yang valid.
c)      Meningkatkan kapasitas latihan gabungan dengan komando samping atau latihan bersama dengan pemangku kepentingan dalam rangka peningkatan profesionalisme dan kapabilitas.
d)      Melakukan kajian guna integrasi puskodal untuk meningkatkan kemampuan dan kapabilitas puskodal Koarmabar dalam rangka meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan operasi laut.
3)      Meningkatkan penegakan hukum dan kedaulatan sesuai dengan kebijakan pemerintah, dengan upaya:
a)      Menerapkan aturan pelibatan dalam operasi keamanan di yurisdiksi nasional dalam rangka mempertahankan saling percaya dan mencegah peningkatan eskalasi yang berdampak negatif.
b)      Meningkatkan kehadiran satuan operasi di laut yang memiliki daya tangkal tinggi seperti PKR dan KCR yang beroperasi dalam gugus tugas (lebih dari satu unsur).
c)      Meningkatkan pelaksanaan jarkaplid terhadap setiap pelaku pelanggaran wilayah dan transnational crimes secara tegas untuk menunjukkan okupasi wilayah secara positif.
d)      Meningkatkan kemampuan deteksi, identifikasi dan monitoring dengan meningkatkan peran satuan udara armada atau komando samping pada daerah rawan selektif.

6.      PENUTUP
Koarmabar memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan tugas-tugas TNI AL di wilayah kerjanya. Laut Cina Selatan merupakan berada dalam wilayah kerja Koarmabar, dan dengan dinamika perkembangan lingkungan strategi saat ini, berpotensi terjadi konflik khususnya dengan Cina maupun negara-negara pantai yang memiliki perbatasan laut dengan Indonesia. Dalam menghadapi potensi konflik tersebut, Koarmabar yang dalam rangka pelaksanan tugas TNI AL mengimplementasikannya melalui penggelaran kekuatan satuan operasi baik dalam bentuk gelar penindakan maupun gelar permanen. Dengan demikian, agar mampu mengantisipasi konflik tersebut dengan baik, Koarmabar perlu melaksanakan optimalisasi strategi gelar kekuatannya.
Dalam rangka menyusun strategi optimalisasi gelar kekuatan Koarmabar, harus dengan memperhatikan faktor yang mempengaruhi, meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang dapat dikendalikan yang menjadi kekuatan dan kelemahan, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar dan tidak dapat dikendalikan yang menjadi peluang dan ancaman. Dari hasil analisis faktor-faktor tersebut, dapat ditemukan bahwa dari faktor internal, kelemahan lebih dominan dari kekuatan, sedangkan dari faktor eksternal, peluang lebih dominan dari ancaman.
Dengan demikian maka strategi yang tepat adalah strategi yang memanfaatkan peluang untuk meminimalisir ancaman yang ditemukan, sehingga dapat dirumuskan strategi optimalisasi penggelaran kekuatan yang dapat diaplikasikan oleh Koarmabar adalah mendorong peningkatan kapasitas kerjasama antar angkatan laut, meningkatkan interoperability dengan stakeholder atau komando samping dalam mendukung pelaksanaan tugas operasi Koarmabar, dan meningkatkan penegakan hukum dan kedaulatan sesuai dengan kebijakan pemerintah. Aplikasi dari strategi-strategi tersebut diatas dilakukan melalui berbagai upaya sebagaimana telah diuraikan diatas. Diharapkan dengan upaya-upaya tersebut, optimalisasi penggelaran kekuatan Koarmabar guna mendukung pelaksanaan tugas Koarmabar dapat diwujudkan, sehingga dapat mengantisipasi potensi konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan.











[1] Nilai perdagangan di jalur Laut China Selatan bisa mencapai 5,3 trilyun dollar/tahun (http://jurnalmaritim.com/2016/11/nilai-seaborne-trade-laut-china-selatan-capai-53-t-dolar-as-per-tahun/)
[2] tiga tugas pertama dalam pasal 9 UU No.34 Tahun 2004 merupakan implementasi peran universal angkatan laut menurut konsep Ken Booth yang lebih bersifat keluar, sedangkan dua tugas selanjutnya merupakan konsekuensi logis kekuatan militer untuk membangun dan mengembangkan kekuatan dalam rangka balancing power, dan juga merupakan implementasi konsep sishanrata.
[3] (http://www.mediapribumi.com/2016/06/kapal-nelayan-cina-masuk-zee-ri-itu.html diakses tanggal 31 Januari 2017 pukul 09.28 WIB).
[4] Surat Notifikasi Kejadian Shadowing CoastGuard Vietnam dan Kapal Perang Vietnam terhadap KRI Alamang dan KRI Wiratno kepada Kemenlu tanggal 5 Mei 2017.
[5] Pengolahan data dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui perbandingan nilai bobot. Nilai bobot 1 menunjukkan pengaruh yang rendah terhadap faktor, nilai bobot 2 menunjukkan pengaruh yang sedang terhadap faktor, dan nilai bobot 3 menunjukkan pengaruh yang kuat terhadap faktor.
[6] penyusunan konsep strategi didasarkan pada faktor-faktor internal dan eksternal yang dominan dalam penggelaran kekuatan Koarmabar untuk dipertemukan (http://articles.bplans.com/how-to-perform-swot-analysis/ diakses pada tanggal 28 Juni 2017 pukul 10.30)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tinjauan Serangan Pearl Harbour

Implementasi Pemberdayaan Wilayah Pertahanan laut di Wilayah Kerja koarmabar Guna Mendukung Pertahanan dan Keamanan Nasional Dalam Rangka Mewujudkan Poros Maritim Dunia

Tinjauan Konflik Serbia-Kosovo